MEMILIH PEMIMPIN MENURUT AL-QUR'AN DAN AL-HADITS

0
[Subandi Baiturrahman]

Di dalam agama Islam, pemimpin lazim disebut Ulil Amri / Amir / Imam / Sulthon / Ro'in. Sebagaimana dapat kita lihat firman Alloh Ta'alaa dalam Al-Qu'an, Surat An-Nisaa', No. Surat: 4, Ayat: 59, yang berbunyi:
Yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul (Nya), dan Ulil amri (orang yang memegang perkara) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Al-Quran) dan Rosul (Al-Hadits/sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (QS. An-Nisaa', No. Surat: 4, Ayat: 59).

Yang dimaksud dengan mengembalikan permasalahan kepada Alloh Ta’alaa adalah kembali kepada kitab Al-Qur’an. Dan kembali kepada Rosul adalah mengembalikannya kepada diri Rosululloh ketika beliau masih hidup, dan ketika beliau sudah wafat, maka kepada sunnahnya yaitu Al-Hadits. Mengembalikan kepada Alloh dan Rosul-Nya ini termasuk kewajiban dan konsekuensi iman, bila sikap mengembalikan persoalan pada Alloh dan Rosul-Nya ini hilang, maka hilang pula yang namanya keimanan.

Menurut firman Alloh Ta'alaa di atas yang dikenai hukum harus ta'at kepada Alloh, dan Rosul, Ulil Amri (Amir / Imam / Sulthon) itu ialah orang-orang iman saja, itu pun yang sudah tahu dan paham terhadap ilmu tentangnya, bukan setiap warga negara Indonesia dari latar belakang agama dan kepercayaan serta keyakinan yang berbeda-beda. Ulil Amri lahir dari Al-Qur'an, oleh karenanya Ulil Amri yang dimaksud dalam ayat tersebut jelaslah bukan seorang Presiden, Kepala Negara, seperti yang dimaksud oleh kebanyakan orang. Ulil Amri yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah Imam / Amir / Sulthon, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rosulullohi Shollallohu 'Alaihi Wasallam dalam hadits-hadits shohih, seperti Hadits Bukhori dan Muslim, yang akan saya jelaskan dengan gamblang di bawah nanti.

Wabil Khusus, untuk Presiden, Kepala Negara di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini lahir bukan dari agama Islam; Al-Qur'an dan Al-Hadits, tapi terlahir dari UUD '45 BAB III, tentang KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA, Pasal 6, ayat 1 dan 2, yang berbunyi:
(1) Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani, untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Menurut Pasal 6, ayat 1, bahwa siapa saja, dari agama apa pun bisa menjadi Presiden asal memenuhi persyaratan UUD '45, bukan berdasarkan syari'at agama Islam. Kalau yang dimaksud oleh kebanyakan orang, bahwa yang sah sebagai Ulil Amri atau Amir adalah Presiden "SBY" dan atau seperti yang dimaksud dalam Pasal 6, ayat 1 tersebut, maka jelas-jelas mereka ini telah membohongi umat Islam, dan telah melakukan tindakan jahiliyah. Sebab mereka tidak dapat membedakan antara urusan politik (dunia) dan agama (akhirot), sedang kata Rosululloh saja "Kalau urusan akhirot, maka akulah yang paling pandai, tapi kalau urusan dunia, kalianlah yang paling pandai".
Kita tahu bahwa Umaro' (para Amir), istilah ini sangat Islami sekali, karena dasarnya dari hadits, tapi apabila mereka ini memerintah kamu tidak memakai dasar atau dalil yang kamu ketahui dari Al-Qur'an dan Al-Hadits, maka mereka tidak berhak menjadi imam kamu! Di dalam Hadits Thobroni Fil Kabir dari Ubadah bin Shomit, Rosulullohi Shollallohu 'Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: "Sesudahku akan ada Umaro' (para Amir) yang memerintah kamu sekalian dengan sesuatu yang kamu sekalian tidak mengetahui dalilnya, dan mereka mengerjakan sesuatu yang kamu sekalian mengingkarinya, maka mereka itu tidak berhak menjadi imam kamu sekalian".

Apalagi seorang "Presiden" selaku Kepala Negara yang jelas-jelas acuan peraturan yang dipakai untuk memerintah rakyatnya adalah UUD '45 dengan amandemennya, GBHN, dan acuan hukumnya yang dipakai adalah KUHP atau hukum positif. Maka, sangat tidak mungkin Presiden adalah Amir atau Imam. Jika masih ada muslim atau mukmin yang mempunyai penafsiran atau pemahaman bahwa Imam adalah Presiden itulah yang dimaksud oleh Al-Qur'an dan Al-Hadits. Maka, ini adalah penafsiran dan pemahaman yang tidak benar.

Dari amanat UUD '45 tercermin bahwa setiap warga Negara Indonesia memliki hak dan kewajiban yang sama, baik laki-laki maupun perempuan. Maka dari itu, siapapun dari warga Negara Indonesia setelah Presiden SOEKARNO, setelah Presiden SOEHARTO, setelah Presiden B.J. HABIBI, dan tak terkecuali bagi orang peyandang cacat dan tuna netra (orang buta) sekalipun, misal "ABDURRAHMAN WAHID" yang ke sohor dengan sapaan akrab "Gus DUR" pernah juga menjadi Presiden RI, termasuk juga orang perempuan Ibu Mega "MEGAWATI SOEKARNO PUTRI", pernah pula menjadi Presiden RI, bahkan Ibu "Mega" sekarang mencalonkan diri lagi sebagai Presiden RI, begitu pun bagi orang Bugis, Makasar "JK" H.M. Jusuf Kalla, bahkan dari non muslim, baik orang Nasrani maupun Yahudi sangat berpeluang untuk menjadi Presiden RI asalkan dipilih oleh rakyat melalui PEMILU yang LUBER dan JURDIL. Karena itu, bagi mereka yang ternyata menang dalam pemilu dan menjadi Presiden RI, hendaknya tidak lagi hanya terpaku untuk kepentingan partainya atau golangannya, melainkan sudah harus meninggalkan kepentingan partai dan golongannya guna melayani kepentingan dan kemakmuran rakyatnya dari partai, golongan, agama dan keyakinan apa pun namanya itu atas nama bangsa Indonesia, Presiden RI. Bukan lagi sebagai ketua Umum Partai atau anggota partai tertentu.

Kita memilih seorang Presiden dan Wakil Presiden, Caleg bukan sebagai umat beragama, akan tetapi lebih dikarenakan kita adalah sebagai warga Negara yang baik, ta'at dan tunduk kepada peraturan pemerintah yang sah. Lain halnya, kalau yang diangkat oleh mukmin menjadi Ulil Amrinya adalah "Presiden" dari orang perempuan, atau orang Nasroni, atau Yahudi, maka ini amat sangat bertolak belakang alias bertentangan dengan yang dimaksudkan oleh Al-Qur'an dan Al-Hadits dalam pengertian yang sebenarnya, bahkan sudah bisa dibilang mendurhakai Alloh dan Rosulnya. Sebagai dasar hukum bahwa kita dilarang mengambil Ulil Amri dari orang kafir, musyrik, tidak ahli dibidangnya atau orang perempuan, adalah:
Share :

Komentar Facebook:

0 Komentar Blog: