‎"PENTINGNYA AKHLAQUL KARIMAH DI ERA GLOBALISASI"

0
Pertama-tama, baiklah puja dan puji syukur "Al-hamdulillah" kita panjatkan kehadirot Alloh Azza Wa Jaalla atas limpahan rohmat, taupiq, hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga sampai pada saat ini kita masih tetap dalam keadaan beragama Islam, beriman, sehat, punya waktu luang bisa menjalani agama Islam yang haq, berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sholawat dan salam, semoga tercurahkan kepada junjungan Nabi kita, yaitu Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, serta seluruh keluarga dan para sahabatnya, para tabi'it-tabi'in dan tabi'ahum, dan mudah-mudahan sampai juga kepada kita sekalian. Amin.

Sebagai orang Islam, kita harus menyadari dan memahami, bahwa kita adalah manusia yang telah dipilih Alloh untuk dijadikan hamba-Nya yang beriman dan bertakwa kepada-Nya, dijadikan kekasih-Nya. Di dunia ini kita dimuliakan, yaitu telah diberi kehidupan yang baik, yakni kehidupan yang serba halal dan barokah, dan mudah-mudahan kebahagian di dunia ini dapat mengantarkan kita kepada kebahagiaan yang abadi di akhirot nanti, amin.

Oleh karena itu, maka kemuliaan ini harus kita pertahankan, yaitu dengan cara senantiasa meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita, yakni memperbayak bersyukur dan beribadah kepada Alloh Azza Wa Jalla, dan semaksimal mungkin menghindari, menjauhi dan meninggalkan berbagai macam bentuk pelanggaran; keharoman, kemaksiatan dan dosa, baik yang bersifat dosa kecil maupun dosa besar, yang samar maupun yang tampak. Sebab sekecil apa pun perbuatan yang melanggar peraturan Alloh dan Rosululloh dapat berakibat dosa, dan sekecil apa pun dosa, di akhirot kelak sudah pasti akan ada siksanya.

Saudara-saudaraku kaum muslimin, sebangsa dan setanah air. Bilamana kita memperhatikan dengan seksama perjalanan sejarah masa lampau, bahwa kenyataannya baik itu suatu bangsa, kaum, umat beragama, atau negara dapat berjaya apabila memiliki akhlaqul karimah, yakni budi pekerti yang luhur. Dan sebaliknya, suatu bangsa, umat beragama, bahkan suatu negara akan hancur berantakan bilamana mereka telah dihinggapi penyakit plu Iblis, yaitu kebobrokan budi, akhlak, moral, thabi'at. Lihatlah ke belakang tentang kisah Kaum Aad dan Kaum Tsamud. Coba kenang kembali sejarah Imperium Kisro Persi dan Kekuasaan Kekaisaran Romawi, yang telah diriwatkan di dalam Hadits Tirmidzi. Jika kita perhatikan dengan baik dan seksama jalan ceritanya, bahwa bangsa, kaum, umat dan negara yang tadinya jaya perkasa adi kuasa di zamannya bisa hancur lebur berantakan akibat dari hilangnya akhlaqul karimah atau yang kita kenal dengan istilah budi pekerti yang luhur dari diri mereka.

Kemajuan teknologi, kemakmuran dan kekayaan materi yang lain, demikian pula sebaliknya, tidak banyak sangkut pautnya dengan dan hancurnya suatu umat. Dengan memiliki pemahaman seperti ini diharapkan agar umat dapat berpikir jernih, terang dan cerdas bahwa semua itu Alloh ciptakan untuk kepentingan umat manusia selaku ciptaan Alloh agar dapat menjalankan tugas tunggalnya sebagai hamba-Nya, yakni ibadah; menyembah dan mengabdi pada Alloh Ta'alaa dengan tenang, bukan untuk kesombongan. Sebagaimana firman Alloh Ta'alaa dalam Al-Qur'an, Surat Ad-Daariyat, No. Surat: 51, Ayat: 56, yang berbunyi:
Yang artinya: "Dan Aku (Alloh) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah (beribadah) kepada-Ku".

Sejarah berbicara dengan bahasa dan suara yang lantang, lihat saja, misalnya: Kerajaan Romawi yang jaya dan agung memiliki kemajuan dan peradaban tinggi di belahan bumi barat telah dengan mudah digulingkan oleh kaum Indo Jerman yang masih di bawah standar kemajuan. Daulah Abbasiyah di sebelah Timur yang memiliki peradaban tinggi dan kekayaan yang melimpah dengan gampang dapat diporak-porandakan oleh Bangsa Mongol yang tidak mengenal peradaban. Pada tahun 1945, rakyat Indonesia dengan bambu runcing telah dapat dengan mudah memukul mundur dan tekuk lutut para sekutu yang bersenjata mesin canggih dengan ending Negara Indonesia merdeka. Memang kenyataannya, kehancuran suatu bangsa, kebinasaan suatu bangsa, suatu negara dikarenakan kebobrokan akhlak, kehilangan budi pekerti bangsa tersebut.

Agama Islam di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad Shollallohu 'Alaihi Wasallam dengan sekaligus membawa risalah-Nya telah dapat mengangkat tinggi derajat bangsa Arab, Negara Arab Saudi, Makkah dan Madinah menjadi berjaya sepanjang masa dengan mengetengahkan konsep akhlaqul karimah, ini telah tercermin dengan gamblang pada sebuah hadits dari Abu Huroiroh, berkata: "Rosulullohi Shollallohu 'Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: "Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik ". (HR. Ahmad fii Tafsir Ibnu Katsir, Juz 1 Hal 402).

Nyatalah di sini, bahwa dasar pokok ajaran Islam ialah keluhuran budi pekerti. Dan inilah ukuran dan barometernya. Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakhlak, dan tidak beraklak bagi orang yang tidak beragama. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika Rosulullohi Shollallohu 'Alaihi Wasallam menyatakan, bahwa bobot timbangan pahala seseorang ditentukan oleh akhlak dan budi pekerti:
Yang artinya: "Tidak ada sesuatu yang lebih berat bobot timbangan pahalanya daripada akhlak yang baik". (HR.Abu Daud. Kitabul Adab).
Budi pekerti Nabi Muhammad Shollallohu'Alaihi Wasallam sendiri adalah merupakan budi pekerti yang paling luhur dan sangat pantas menjadi suri tauladan yang utama bagi umatnya. Sebagaimana sanjungan Alloh Ta'alaa terhadap akhlak beliau yang tercantum dalam Al-Qur'an, Surat Al-Qolam, No. Surat: 92, Ayat: 4, yang berbunyi:
Yang artinya: "Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) niscaya di atas akhlak yang agung".(HR. Ahmad fii Tafsir Ibnu Katsir, Juz 1 Hal 402).

Pada waktu sayyidatinaa 'Aisyah Rodhiyallohu 'Anhaa ditanya oleh seorang sahabat tentang perilaku Nabi Muhammad Shollallohu 'Alaihi Wasallam, ia menjawab:
Yang artinya: "Budi pekerti Rosululloh ialah Al-Qur'an". (HR. Ahmad fii Tafsir Ibnu Katsir, Juz 1 Hal 402).

Kalau begitu, setiap orang yang telah mengaku sebagai umatnya dan berpedoman kitab suci Al-Qur'an, maka tidak pantas berbudi ashor, berbudi pekerti rendah, berkelakuan buruk. Kalau sampai berbudi pekerti rendah, itu sama halnya melecehkan Rosululloh dan merendahkan Al-Qur'an, berarti merusak citra agama Islam. Oleh karenanya, Rosulullohi Shollallohu 'Alaihi Wasallam tidak mau bersaksi terhadap orang yang mengaku sebagai mukmin namun kelakuannya ashor, rendah, berkelakuan buruk. Pernyataan tersebut dapat kita lihat pada sabda Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam dalam Hadits Shohih Bukhori, yang berbunyi:
Yang artinya : “Demi Alloh tidak beriman, demi Alloh tidak beriman, demi Alloh tidak beriman’. Ditanyakan : “Dan siapa itu, ya Rosuulullooh?. Rosulullooh bersabda: “Orang yang tetangganya merasa tidak aman karena kerusakannya”.

Beginilah ajaran Rosululloh Shollallohu 'Alaihi Wasallam terhadap umatnya. Sekian banyak budi pekerti yang diajarkannya, di antaranya adalah di dalam Hadits Bukhori Juz 8 Hal 13, beliau bersabda:
Yang artinya : “Barang sipa yang beriman dengan Alloh dan hari akhir maka janganlah dia menyakiti / mengganggu tetangganya”.

Di dalam Hadits Sunan Abu Daud, Kitaabul Adab, Juz 2, dari Abdillah bin Amrin, menerangkan sesungguhnya ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rosuulalloohi Shollaloohu ‘Alaihi Wasallam:
Yang artinya: “Manakah orang Islam yang bagus ? Rosuulullooh bersabda: “Memberi makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan orang yang tidak kamu kenal”.

Tujuan kita adakan kegiatan keagamaan dalam bentuk bimbingan agama di majlis ini, adalah dengan niat baik dan karena Alloh, yaitu untuk membantu Pemerintah mendidik warganya agar menjadi warga negara yang berakhlakul karimah, sehingga dapat menjadi warga Negara Indonesia yang baik, menjadi anggota masyarakat yang baik, menjadi anggota keluarga yang baik, menjadi individu yang baik, yang ‘Alim (berilmu agama), berbudi luhur / berakhlaqul karimah (berbudi pekerti yang mulia), mandiri (tidak menggantungkan hidupnya kepada orang lain) sehingga menjadi “Insaanul Kamil”.
Praktek-praktek BUDI LUHUR
Budi Luhur dilakukan:
- Di lingkungan keluarga, tempat tinggal, pengajian, tempat kerja, pendidikan / sekolah / kampus, fasilitas / pelayanan umum, didalam kendaraan umum, di jalan raya, dimana saja kita berada.

Contoh-contoh praktek berbudi luhur di lingkungan keluarga;
Isteri ta’at dan ta’dhzim (mengagungkan / menghormat) kepada suami. Anak ta’at dan ta’dhzim kepada kedua orang tua. Yang muda menghormati kepada yang lebih tua. Yang tua sayang kepada yang lebih muda. Yang sebaya saling menghargai. Saling menghormati sesama anggota keluarga. Bersama-sama menjaga kehormatan, harkat dan martabat keluarga, dll.

Contoh-contoh praktek berbudi luhur di lingkungan tempat tinggal;
Memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) di wilayah tempat tinggal. Melayat / ta’ziyah dan menyumbang jika ada warga yang meninggal dunia. Menjenguk / membantu / meminjamkan kendaraan / mengantarkan kerumah sakit jika ada warga yang sakit. Membantu / memberikan sumbangan untuk sarana social, seperti pembangunan tempat ibadah, Pos kamling, jalan di lingkungan, jembatan, dll. Membantu / menjadi orang tua asuh bagi kelangsungan pendidikan formal anak dari keluarga yang tidak mampu. Ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan di RT / RW setempat. Membantu / menolong warga yang terkena bencana alam / mushibah. Membantu / menolong warga yang menganiaya dan yang teraniaya, dll.

Contoh-contoh praktek berbudi luhur di lingkungan pengajian;
Berpakaian sopan dan rapi. Melaporkan kepada RT / RW setempat prihal orang-orang yang menempati emperan masjid, sebagai “ASHABUL MASJID / ASHABUS SHUFFAH”. Menyampaikan idzin kepada RT / RW setempat dan warga sekitar tempat pengajian apabila hendak merenovasi / membangun tempat pengajian. Apabila akan mengadakan kegiatan di luar kebiasaan hendaknya memberitahukan kepada ketua RT / RW setempat. Tidak menggunakan sound system dengan volume suara terlalu keras yang dapat mengganggu lingkungan pengajian. Tidak mengebut, menggeber-nggeber (memain-mainkan gas atau klakson kendaraan bermotor di lingkungan / lokasi pengajian. Menganggukkan kepala, mengucapkan permisi / salam atau sejenisnya kepada warga jika sedang melewatinya. Menuntun kendaraan roda dua ketika sedang melewati gang sempit yang banyak warga duduk-duduk atau pemukiman padat terutama pada malam hari / waktu warga sedang istirahat, dll.

Contoh-contoh praktek berbudi luhur di lingkungan tempat bekerja;
Disiplin masuk jam kerja; hadir dan pulang sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan (bahkan datang lebih awal dan pulang lebih lambat dari pekerja / pegawai yang lain). Tidak pernah meninggalkan jam kerja / kantor, jika akan meninggalkannya hendaknya memberi tahu kepada atasan dimana tempat bekerja. Senior membina / membimbing kepada staf di bawahnya, menengok / membantu karyawan yang sedang sakit, memenuhi undangan acara karyawan. Berpartisipasi dalam bekerja bakti kebersihan kantor dan lingkungan dimana tempat bekerja. Mengikuti upacara-upacara penting di lingkungan di kantor di mana tempat bekerja, dll.

Contoh-contoh praktek berbudi luhur di lingkungan pendidikan / sekolah / kampus;
Mentaati peraturan dan tata tertib sekolah/kampus. Tidak membolos / meninggalkan jam belajar/kuliah. Menjadi pengurus kelas / OSIS / Senat Mahasiswa. Mengadakan study group (belajar bersama). Mengadakan bimbingan belajar bagi yang kurang mampu pada mata pelajaran / kuliah tertentu. Memberikan informasi mengenai kiat-kiat belajar yang efektif untuk mencapai prestasi. Mempelopori dan mengupayakan beasiswa bagi siswa atau siswi / mahasiswa atau mahasiswi yang berprestasi atau yang pintar tapi tidak memilki biaya sekolah / kuliah. Tidak merokok / mengkonsumsi atau mengedarkan obat terlarang, dll.

Contoh-contoh praktek berbudi luhur di lingkungan fasilitas / pelayanan umum;
Sabar mengantri dan memberikan prioritas kepada orang tua / manula / lansia. Berpakaian sopan dan rapi. Tidak merusak fasilitas umum, dll.

Contoh-contoh praktek berbudi luhur di dalam kendaraan umum;
Memberikan prioritas tempat duduk kepada orang yang lebih tua / lansia, perempuan, ibu-ibu hamil/sedang menggendong balita, anak-anak / balita. Membantu penumpang yang menaikkan / menurunkan barang bawaan, terutama kepada ibu-ibu dan orang tua. Tidak merokok di dalam kendaraan umum. Menolong orang yang sedang kecopetan dan melerai keributan antar penumpang (jika situasi sangat memungkinkan / berani). Membayar ongkos sesuai dengan tariff yang telah ditentukan, dll.

Contoh-contoh praktek berbudi luhur di jalan raya;
Pada sa’at mengendarai kendaraan membawa SIM dan STNK sesuai dengan kendaraan yang bersangkutan, dan masih berlaku, membayar pajaknya tepat waktu. Memakai Helm bagi pengendara roda dua dan pemboncengnya. Selalu memperhatikan dan melengkapi perlengkapan kendaraan yang ditentukan; seperti kaca spion, lampu sain, rem, dll. Selalu memperhatikan rambu-rambu lalu lintas dan menta’atinya serta menghormati pengguna jalan lainnya. Mengendarai kendaraan pada jalur yang ditentukan. Sa’at mengendarai kendaraan roda empat memakai sabuk keselamatan / safety belt bagi pengemudi dan penumpang yang duduk di kursi depan, dll.

Namun, jika ada dari pengikut majlis ini yang melakukan kegiatan yang dianggap meresahkan masyarakat, bukan berarti majlis ini sebagai wadah ta'lim bisa dipersalahkan. Kami sebagai muballigh akan sangat menghargai jika ada dari pengikut kami di majlis ini yang dianggap menimbulkan keresahan tersebut dapat diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jangan bertindak main hakim sendiri dan hendaknya tidak cepat mengambil keputusan dengan hukum sosial.

Ketahuilah, orang yang pasti tidak nyaman dalam dunia ini, orang yang pasti tidak tenang dalam bernegara, orang yang pasti tidak tentram dalam bermasyarakat, orang yang paling tidak bahagia dalam keluarga, orang yang pasti tidak nikmat dalam bekerja adalah orang yang paling busuk hatinya. Yakinlah semakin kita memenuhi hati dengan kesombongan, semakin hati suka riya’ / pamer, penuh kedengkian, kebencian maka akan habis seluruh waktu produktif kita hanya untuk melayani kebusukan niat hati kita. Dan sungguh beruntung dan berbahagia bagi kita yang memiliki hati yang jernih, bersih, lapang, lurus karena suasana hidup ini tergantung bagaimana suasana hati. Di dalam penjara bagi kita yang berhati lapang tidak akan menjadi masalah. Sebaliknya, jika kita hidup di dalam rumah yang lapang selapang lapangan pesawat terbang tetapi hati dan pikiran kita sempit, pasti akan banyak masalah.

Salah satu yang harus kita lakukan agar hati kita tetap bening adalah kemampuan kita dalam menyikapi ketika orang lain berbuat salah. Karena, kepala negara bisa berbuat salah, ulama’ bisa berbuat salah, umaro ijtihadnya bisa salah, atasan kita di kantor ada peluang salah, teman sekantor kita sangat mungkin melakukan perbuatan yang salah atas kita, tetangga, kedua orang tua kita, isteri-isteri dan anak-anak kitapun demikian sebabnya adalah mereka itu bukan malaikat. Sebenarnya yang menjadi masalah adalah bukan hanya kesalahannya, yang menjadi masalah adalah bagaimana cara kita menyikapi kesalahan orang, golongan, agama lain.

Sebenarnya sangat sederhana sekali resep dan tekhniknya, yaitu tanyakan kepada diri kita sendiri, apa sih yang paling diharapkan dari sikap orang lain pada diri kita ketika kita yang berbuat salah?! Pasti kita sangat menharapkan agar orang lain tidak marah kepada kita. Kita berharap agar orang lain mau memberitahu kesalahan kita dengan cara-cara yang bijaksana, nada, irama dan suara yang enak didengar, kata-kata yang diucapkan tidak menyakitkan hati, sikap yang sopan santun. Pasti kita tidak ingin orang lain marah besar bahkan mempermalukan kita di depan umum, media cetak, elektronik. Kalaupun sampai hukuman dijatuhkan kita ingin agar hukuman yang dijatuhkan itu adil dan dengan penuh etika. Kita ingin diberi kesempatan untuk memperbaiki diri, ingin diberi semangat agar bisa berubah lebih baik lagi. Jika betul semua keinginan tersebut ada pada diri kita, mengapa ketika orang, golongan, agama lain yang berbuat salah, malah kita caci maki, hina, vonis, marahi, dan tidak jarang malah mendhzoliminya.

IKHWAN muslimin, seharusnya ketika ada orang, golongan, umat beragama lain yang berbuat salah, apalagi posisi kita sebagai seoarang pemimpin suatu pemerintahan negara, organisasi kemasyarakatan, organisasi Islam, lembaga dakwah, lembaga bantuan hukum maka yang harus kita lakukan adalah sabar berpangkat tiga, sabar,sabar,sabar. Artinya kalau kita menjadi pemimpin dalam skala apapun kita harus siap untuk dikecewakan. Mengapa? Karena yang dipimpin kwalitas pribadinya belum tentu sesuai dengan yang memimpin. Maka, seorang pemimpin yang tidak siap dikecewakan ia tidak akan siap memimpin, kerjanya hanya akan marah, kesal, emosi, menyalahkan orang lain.

Oleh karena itu kalau ada orang, golongan, agama lain melakukan kesalahan, siapkan sikap dan mental kita. Pertama, kita harus bertanya terlebih dahulu apakah yang berbuat salah itu, tahu apa tidak kalau dirinya telah berbuat kesalahan? Karena ada orang, golongan, agama yang melakukan kesalahan tetapi tidak menyadari apa yang telah dilakukannya itu suatu kesalahan atau bukan, itulah yang disebut di dalam agama Islam masih jahiliyah, harap maklum. Contoh yang sederhana, ada seorang wanita dari kamso (kampungan lagi ndesso, katro) yang dibawa ke kota Jakarta untuk bekerja sebagai tenaga amal sholeh (pembantu rumah tangga) di rumahnya orang Islam yang kaya raya. Ketika hari-hari pertama bekerja dia samasekali tidak merasa bersalah pada saat semua pakaian untuk sholat majikannya ia masukkan kedalam Toilet lalu ia isi air, ia tutup toilet itu kemudian ia cuci beberapa saat kemudian, mengapa? Karena di kampungnya tidak ada toilet seperti itu, yang ada hanya kakus jumbleng. Setelah beberapa hari kemudian ia baru ditanya oleh majikannya bagaimana cara kamu mencuci dan mensucikan pakaian sholat tersebut? Kata pembantunya “Saya masukkan kemesin cuci kecil itu, lalu saya rendam dahulu baru kemudian saya cuci”. Majikannya berkata “Waduuh, bagaimana to kamu ini, kok tidak mau bertanya dahulu, itu kan toilet untuk membuang hajat, ya najis semua pakaian saya!

Tata nilai yang berbeda membuat pandangan akan suatu kesalahan pun berbeda. Jadi, kalau ada orang, golongan, agama yang dianggap berbuat salah, akan lebih baik ditanya terlebih dahulu, ia tahu atau tidak bahwa yang dilakukannya itu suatu kesalahan. Apalagi dalam hal agama, ketika kita menjumpai orang / golongan lain mengerjakan sesuatu yang kita anggap beda dengan kita, jangan cepat memvonis, mencap sesat, kafir dan melakukan tindakan anarkis, perusakan dll. Sebaiknya kita tanyakan terlebih dahulu kepada fakarnya. Di dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl, No. Surat: 16, Ayat 43, Alloh telah memperingatkan, yang berbunyi:
Yang artinya: “Maka bertanyalah kepada ahli peringatan (orang yang mempunyai pengetahuan tentang nabi dan kitab-kitab) jika kamu tidak mengetahui”.

Kedua, kalau dia belum mengetahui kesalahannya maka kita harus meberinya tahu, bukan malah memarahi, memaki, mendhzoliminya. Coba kita pikir, bagaimana mungkin kita akan memarahi orang yang tidak mengetahui bahwa amalannya salah, agamanya sesat, namanya juga masih jahiliyah belum memiliki ilmu tentang amalan yang benar, belum mendapatkan petunjuk yang benar. Seperti halnya, bagaimana mungkin kita akan memarahi anak kecil yang belum bisa berpikir dewasa, pagi hari keluar rumah dengan telanjang, hidung ingusan, mata belekan, bau ompol, namanya juga anak kecil belum nalar, tapi tidak juga kita biarkan saja. Perlu cara yang arif dan bijak, penuh kasih sayang. Jika perlu di rayu, ya dirayu. Jika perlu dibujuk, ya dibujuk sampai mau kembali ke rumah, mandi dan bepakaian rapi.

Perbuatan yang paling mulia adalah membantu orang yang berbuat salah agar tetap bersemangat dalam memperbaiki kesalahan dirinya, dengan cara dituturi, dinasehati, diajak mengaji langsung sama-sama membuka Al-Qur’an dan Haditsnya, ini lebih dapat menyelesaikan masalah ketimbang mencaci, memaki, menghina, merusak, mempermalukan di depan umum melalui media cetak, elektronik, menebarkan isu-isu negatif, kejelekan, apalagi dengan ditambah-tambahi, malah menjadi fitnah, bagaimana ini? Lalu Islam dan Iman kita kemana terbangnya? Merasa atau tidak, manusia itu tempatnya lupa dan salah, ada kelebihan dan ada juga kekurangannya, tidak ada yang sempurna, yang Maha Sempurna hanya Alloh Subhaanalloohu Wa Ta’alaa.

Agama yang konon katanya sudah dinobatkan oleh sejarah peradaban manusia sebagai etik mondial kerap kehilangan taringnya karena selaku institusi, agama telah memproklamirkan dirinya sebagai yang paling benar, suci dan sempurna serta yang paling mampu memberi jawaban final atas seluruh pergolakan hidup manusia. Isu kerukunan yang dikemas dalam bingkai dialog hanya menghasilkan monologi unilateral dan berubah menjadi toko obralan ide, doktrin dan keyakinan yang berfungsi untuk menarik minat banyak pembeli (mu’alaf / penginsaf baru) yang tidak berkwalitas.

Orang-orang yang merasa dirinya paling suci, agamanya paling benar mempunyai kecenderungan menganggap golongan lain sesat bahkan berani melakukan perusakan sarana-prasarana ibadah golongan lain. Mengukuhkan dirinya seolah-olah sebagai malaikat dalam pengertian metaforis di mana penjagaan itu sejalan dengan sikap-sikap militan dan gerakan-gerakan publik yang licik untuk mendapat pengaruh dan kekuasaan. Dalam titik kesadaran ini kita lalu bertanya masih relevankah agama mensahkan dirinya sebagai suatu etik mondial yang mampu mengatasi segala persoalan yang makin rumit dan kompleks? Oleh karena itu Alloh Ta'alaa mengingatkan kita melalui firman-Nya di dalam Al-Qur’an Surat An-Najm, No. Surat: 53, Ayat: 32, yang berbunyi:
Yang artinya: “ Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci (mak: kamu jangan merasa sok suci sendiri). Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang paling bertakwa”.

Sejarah peradaban manusia mencatat bahwa agama tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia. Agama bersentuhan langsung dengan kondisi riil manusia dan terlibat aktif dalam seluruh perjuangannya untuk mencapai kebahagian dan kedamaian di dunia sampai di akherat. Agama merumuskan dirinya sebagai “kerangka nilai” yang paling akurat, tepat sasaran dan mampu menjawab kegelisahan dan kehampaan hidup manusia. Konsep agama dalam relasinya dengan realitas Absolut (Alloh atau wujud tertinggi) selalu berbeda-beda tergantung sejarah atau ruang dan waktu yang membentuknya.

Walaupun demikian tetap terdapat satu kesamaan, yakni keyakinan akan perjumpaan dengan Alloh yang mendatangkan kekuatan dan semangat baru bagi setiap anggotanya. Keyakinan ini menuntut suatu sikap untuk mengekspresikannya kepada yang lain sehingga tercipta suatu kesadaran bersama untuk membangun dunia yang aman, adil dan damai. Agama hendaknya menjadi sebuah etik ke Alloh, sesama, lingkungan dan dirinya sendiri. Inilah makna terdalam dari refleksi kita tentang beragamnya agama. Seperti di dalam Hadits Sunan Abu Daud Kitaabus Sunnah Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
Artinya: “Yahudi pecah menjadi 71 atau 72 golongan, Nasrani pecah menjadi 71 atau 72 golongan, dan Islam akan terpecah menjadi 73 golongan”.

Yang sangat patut kita pikirkan dan kita renungkan kembali, adalah bahwa dalam agama Islam pada zaman kepemimpinan Rosululloh Shollallohu 'Alaihi Wasallam, Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khotthob, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Tholib melaksanakan yang namanya: berjama'ah, beramir, berbai'at, dan ta'at. Ta'at kepada Alloh, Rosul dan Amir. Sedangkan Islam kekinian nyaris tidak mengerti dan tidak memahami dengan sebenar-benarnya terhadap makna dan pengertian istilah-istilah tersebut secara baik dan benar menurut Al-Qur'an dan Al-Hadits. Bahkan, kebanyakan dari mereka yang masih awam, justeru menganggap istilah-istilah tersebut mengindikasikan sebagai Islam sesat dan menyesatkan. Dapat kita tarik kesimpulan bahwa kita hidup sekali di dunia ini wajib beragama Islam, wajib beriman, wajib berjama'ah, wajib beramir, dan wajib ta'at. Apabila kita memang serius ingin masuk surga Alloh dan selamat dari neraka Alloh. Tidak cukup merasa puas hanya dengan menjadi muslim saja dengan meninggalkan syarat-syarat yang lain yang sudah menjadi ketetapan Alloh dan Rosul-nya. Oleh karena itu telah menjadi kewajiban kami untuk menyampaikannya ketengah-tengah umat Islam yang interest terhadap da'wah, yang kami kemas dalam sebuah judul "5 Kunci Sukses Masuk Surga", yaitu:
1) Beragama Islam,
2) Berjama'ah,
3) Beramir,
4) Berbai'at, dan
5) Ta'at kepada Alloh, Rosul dan Amir.
(Dalam urusan dunia kita kudu ta'at kepada Pemerintah yang sah. Dan kita ta'at kepada Pemerintah yang sah ini, kapasitas kita bukan sebagai umat beragama, tapi sebagai warga negara yang baik).

Dapat kita simpulkan, bahwa ajakan yang paling pol hasilnya, adalah mengajak tetap menetapi, memerlu-merlukan dan mempersungguh; mengaji Qur’an-Hadits, mengamalkan Qur’an-Hadits, membela Qur’an-Hadits, sambung jama’ah secara Qur’an-Hadits, to’at kepada Alloh, Rosul dan Amir secara Al-Qur’an dan Al-Hadits. Semua itu dikerjakan sampai tutug pol ajal mati kita masing-masing dengan hati niat mukhlish lillaahi, karena Alloh. Ajakan tersebut dikatakan paling pol, karena hasilnya adalah surga. Sebab, kalau ajakan berpolitik, hasilnya bisa saling rugi dan merugikan, kebanyakan merugikan orang lain. Ajakan berdagang, kadang bisa untung, kadang juga rugi. Maka, hidayah; Qur’an, Hadits, Jama’ah ini harus kita ramut/pelihara dan kita jaga dengan ‘Empat Tali Keimanan’, yakni bersyukur, mempersungguh, mengagungkan dan berdo’a. Ini jangan sampai kendor, apalagi sampai lepas. Na’uudzu Billaahi Mindzaalik(a). Harta boleh hilang, pangkat boleh hilang, bahkan nyawa boleh hilang asalkan keimanan kita tidak hilang, sebab jika keimanan ini sampai hilang sebagai konsekuensinya adalah masuk neraka.

Ingat, forum kita ini adalah bersifat majlis ta'lim yang mewajibkan kita semua menuntut ilmu agama Islam, maka kami hanya membedah keilmuan yang bersifat keagamaan secara Al-Qur'an dan Al-Hadits. Baiklah kita bedah bersama satu persatu dari 5 kunci sukses masuk surga tersebut, sekaligus lengkap dengan dasar-dasar hukumnya, adalah sebagaimana berikut:
1. Dalil-dalil yang menunjukkan wajib beragama Islam:
1.1. Agama Islam Dibangun di atas Lima Pondasi (Lima Rukun Islam):
1. Yang artinya: "Sesungguhnya Islam dibangun atas 5: 1). Syahadat, bahwa tidak ada Tuhan kecuali Alloh 2). Dan mendirikan sholat, 3). Dan menunaikan zakat, 4). Dan berpuasa Romadhon, 5). Dan haji ke Baitulloh". (HR. Muslim).
2. Yang artinya: "Islam dibangun atas 5 (Lima): 1). Syahadat: Bahwa tidak ada Tuhan kecuali Alloh, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh. 2). Mendirikan sholat. 3). Menunaikan Zakat. 4). Haji. 5). Berpuasa Romadhon. (HR. Bukhori).

1.2. Hanya Islam yang Diakui Di sisi Alloh sebagai Agama:
1. Yang artinya: "Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab[ialah Kitab-Kitab yang diturunkan sebelum Al Quran] kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya". (QS. Ali 'Imron, No. Surat: 3, Ayat: 19).

1.3. Hanya Islam Agama yang Sempurna dan Diridhoi Alloh:
1. Yang artinya: "Pada hari ini (Jum'at, di Arofah, 9 Dzulhijjah) telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu jadi agama bagimu". (QS. Al-Maa-idah, No. Surat: 5, Ayat: 3).

1.4. Masuk Islam secara Kaaffaah (total):
1. Yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam dengan Kaaffah (keseluruhan), dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu". (QS. Al-Baqoroh, No. Surat: 2, Ayat: 208).

1.5. Jika Islamnya Bagus Mendapat Pahala Berlipat Ganda:
1. Yang artinya: "Ketika salah satu kamu Islamnya bagus maka untuk setiap satu kebaikan yang dia amalkan ditulis sepuluh kebaikan sampai dengan tujuh ratus lipat. Dan satu kejelekan yang dia amalkan ditulis sama dengan kejelekan yang dia amalkan itu". (HR. Bukhori).

1.6. Agama Selain Islam Tertolak dan Merugi:
1. Yang artinya: "Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirot termasuk orang-orang yang rugi". (QS. Ali 'Imron, No. Surat: 3, Ayat: 85).

1.7. Upayakan Mati dalam Islam:
1. Yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Alloh dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". (QS. Ali 'Imron, No. Surat: 3, Ayat: 102).

2. Dalil-dalil yang Menunjukkan Wajib Berjama'ah.
2.1. Agama Islam Harus Berbentuk Jama'ah / Al-Jama'ah (bukan Islam Jama'ah atau Jama'ah Islamiyah):
Berangkat dari firman Alloh Ta'alaa di dalam Al-Qur'an, Surat Ali 'Imron, No. Surat: 3, Ayat: 103, yang berbunyi:
Yang artinya: "Dan berpegang-teguhlah kamu sekalian kepada tali (agama) Alloh dengan jama'ah, dan janganlah kamu sekalian firqoh". (inilah arti yang benar dari potongan ayat tersebut).

Perhatikan lafadhz 'jami'an' yang dimaksud dalam ayat 103 pada Surat Ali ‘Imroon, No. Surat: 3, makna secara lughoh adalah 'semuanya', seperti yang tertera dalam SYAAMIL AL-QUR'AN TERJEMAH PER-KATA dengan tanda tashhih NO: P.VI/I/TL.02.1/266/2007, namun dengan makna lughoh saja seperti itu tentu belum dapat dipahami oleh umat Islam, apa maksud dari lafadhz tersebut, karena dengan makna seperti itu justru umat bisa salah dalam memahami maksudnya, dan pasti jika dalam memahaminya saja sudah salah, maka prakteknya juga salah.

Dan bukan pula 'Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai', seperti dalam Al-Qur'an Terjemahan "Al-Furqon" dari Departemen Agama RI, sebab dengan arti atau terjemahan seperti itu tentu belum dapat dipahami oleh umat Islam, apa maksud dari kalimat "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai" ini? Pasti umat akan memahaminya bahwa semua umat harus beragama Islam dan tidak boleh bercerai berai. Jelas pengertian yang seperti itu tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Alloh dan Rosululloh. Sebagaimana dibawah ini akan kami kupas secara tuntas arti dan maksud dari kalimat tersebut sesuai dengan apa yang pernah dijelaskan oleh Rosululloh melalui sabda-sabdanya.
Namun, lafadhz " 'jami'an” pada kalimat yang berbunyi:
“Wa’tashimuu Bihablillaahi Jami’aw Wa Laa Tafarroquu…” maksud yang sebenarnya, adalah "Al-Jama’ah" (urusan keagamaan dipegang / diatur oleh seorang Amir; ada ijtihad, ada nasehat, ada perintah, ada larangan, ada peramutan, ada pembinaan, dan lain-lain dari Amirnya), lawan kata dari "Al-Firqoh" (urusan keagamaan tidak dipegang / diatur oleh Amir, tapi diserahkan kepada masing-masing umat / terserah umat, bebas lepas; yang mau ibadah silahkan, yang tidak mau ibadah tidak diapa-apakan; yang menjadi rukyahnya siapa dan yang menjadi Amirnya juga siapa, tidak ada kejelasan?).

Dihadapkan kepada tuntutan untuk memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan Al-Hadits ini, mereka akan mengadakan penafsiran terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits, tentu saja menurut keterbatasan akal dan ilmu mereka. Akibatnya, mereka meninggalkan penjelasan Islam yang benar dari Rosululloh yang beliau ajarkan kepada para sahabat, dan malah mengikuti Islam menurut versi mereka sendiri. Di sinilah awal dari kesesatan seluruh tokoh, organisasi dan gerakan Islam yang tidak kembali kepada pemahaman sahabat, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in, yang disebut dengan salafush sholih dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Oleh karena itu dalam metode golongan Islam yang berbentuk "Al-Jama’ah" dalam menyimpulkan hukum-hukum Islam baik yang ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), yaitu:
1. Al-Qur’an. Sebab Al-Qur’an adalah sebaik-baiknya kalimat dan sebenar-benarnya perkataan serta seadil-adilnya hukum, sehingga orang-orang Islam dalam "Al-Jama’ah" tidak pernah mendahulukan perkataan manusia atas mendahului, mengalahkan firman Alloh Ta’alaa.
2. Al-Hadits. Sebab Al-hadits adalah sebaik-baiknya petunjuk dan prilaku. Dan apa-apa yang telah disepakati oleh para kholifaturrosyidin sebelum terjadinya perpecahan dan berbagai macam bid’ah. Sehingga orang-orang Islam dalam "Al-Jama’ah" tidak mendahulukan petunjuk, atau pedoman selain petunjuk Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dan apa yang telah disepakati oleh para kholifaturrosyidin.
3. Ijma', Ijtihad A-Immatul Hudaa (para Imam yang mendapatkan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Hadits) berdasarkan hasil musyawaroh dan tidak maksiat; tidak berbenturan antara Al-Qur'an, Al-Hadits, dan Ijtihad.
4. Qias adalah dasar hukum menurut qiasan atau alasan yang berdasarkan perbandingan atau persamaan tentang hukum Islam, jadi bukan berdasarkan sunnah, akan tetapi tidak menyelisihi Al-Qur'an dan Al-Hadits.

Dengan demikian, jika ada perkataan seseorang maka harus ditimbang dulu dengan keempat dasar pokok tersebut; jika ternyata sesuai dengan keempat hukum pokok tersebut barulah kita terima dan jika tidak maka kita tolak, siapa pun yang mengatakan perkataan tersebut. Demikianlah yang dicontohkan oleh para sahabat, dan inilah jalan yang lurus, yang disebut dengan manhaj salafush sholih itu.

Untuk menghindari menafsirkan Ayat Qur'an dan hadits dari ro'yi, caranya adalah menafsirkan ayat Qur'an dengan ayat Qur'an, menafsirkan ayat Qur'an dengan hadits, menafsirkan hadits dengan hadits. Sebab, jika menafsirkan ayat atau hadits dengan ro'yi dapat berpeluang salah, mengingat kapasitas dan kemampuan kepala setiap orang berbeda-beda, bahkan kalaupun benar dihukumi salah oleh Rosululloh.

Kalau urusan dunia pakai ro'yi si nggak begitu jadi masalah, paling pol menyesal, tidak ada sangsi yang berarti. Oleh karenanya, kita supaya memaklumi dan memaknai hidup bermasyarakat yang begitu plural dan majemuk ini dengan cerdas setiap menghadapi perubahan yang terjadi di dalam masyarakat, bangsa, dan negara kita. Seperti seorang ayah yang dengan bijak dapat memaklumi kemampuan daya pikir anak-anaknya, misal: Ada seorang bapak yang berpesan dalam amanatnya kepada dua orang anak laki-lakinya agar segera pergi merantau untuk bekerja, isi pesannya:
"Kalian di sana nanti berangkat dan pulang bekerja jangan sampai kepanasan, dan apabila makan usahakan yang banyak ikannya! Anak laki-laki yang pertama, memahami kalimat tersebut setiap berangkat dan pulang dari tempat ia bekerja selalu turun naik mobil umum, dan makan direstoran dengan lauk pauk ikan bawal, baronang, dll, sehingga ia tidak punya uang tabungan sama sekali, sedangkan anak laki-laki yang kedua memiliki pemahaman yang berbeda, yaitu berangkat dan pulang dari tempat ia bekerja dengan berjalan kaki dan memakai payung, dan makan masak sendiri dengan lauk ikan teri. Ketika mereka sama-sama pulang ke kampung halaman membawa hasil yang berbeda pula, yaitu anak pertama tidak berhasil sedangkan anak kedua pulang membawa hasil. Memang bedanya sedikit, yaitu antara tidak berhasil dan berhasil.

Al-Jama'ah merupakan perintah Alloh, dan Al-Firqoh adalah larangan Alloh. Umat Nabi Muhammad Shollallohu 'Alaihi Wasallam harus masuk agama Islam yang Jama'ah, dan dilarang masuk agama Islam yang Firqoh. Jama'ah yang dimaksud di sini bukanlah kelompok mayoritas, ormas, perkumpulan lebih dari satu orang, seperti jama’ah kenduri, makan berjama'ah, dsb. Tapi, Al-Jama'ah yang dimaksud dalam ayat tersebut mengandung pengertian khusus secara syar'i, yaitu golongan umat Islam yang memiliki Imam atau Amir yang diangkat dengan cara membai'atnya sesuai dengan apa yang telah disyari'atkan dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits, kemudian menta'atinya dalam hal-hal kebaikan. Inilah pengertian dan pemahaman dari kalimat tersebut yang paling benar.
Sebagaimana dapat kita temukan maksud dari kalimat “Wa’tashimuu Bihablillaahi Jami’aw Wa Laa Tafarroquu…” adalah "Al-Jama'ah" tersebut di dalam Tafsir At-Thobari Juz 3 Hal 30, yang berbunyi:
Yang artinya: "Ibnu Jarir Rohimahullooh(u) telah meriwayatkan dengan sanad yang sempurna dari Ibni Mas'ud Rodhiyalloohu 'Anhu, dalam firman Alloh Ta'alaa, yang berbunyi: "Wa'tashimuu Bihablillaahi Jamii'an, yang artinya: "Dan berpegang teguhlah kamu dengan tali (agama) Alloh dengan Jama’ah". Ibni Mas'ud, berkata: (yang dimaksud ayat tersebut adalah) "Al-Jama'ah". Yaitu umat Islam yang bermanhaj salaf, mengikuti pemahaman sahabat, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in, tabi'ahum sekalipun hanya dianut oleh segelintir orang. Sementara mayoritas masyarakat Islam yang lain tidak mengikuti manhaj salaf, pemahaman sahabat, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in, tabi’ahum. Mereka yang semacam inilah yang disebut dengan golongan ‘Al-Firqoh’, golongan umat Islam yang sudah pecah belah, yakni golongan umat Islam yang sudah tercerai berai antara rukyah dan Amirnya, tidak ada yang disebut sebagai rukyah, dan juga tidak ada yang disebut sebagai Amirnya. Mereka sudah masing-masing, satu sama lain sudah tidak peduli. Di dalamnya, antara ijtihad, nasehat, ngatur, adil, rofiq, muhsin, aris tidak terkelola dengan baik. Mereka sudah tidak paham apa itu bai'at, apa itu Amir, apa itu ta'at, sehingga siapa yang mengatur dan siapa yang mau diatur, garisnya tidak jelas, tidak tegas!
Yang artinya: "Dan Ibnu Katsir Rohimahullooh(u) Ta'alaa, berkata: "(Adapun yang dimaksud lafadhz "Walaa Tafarroquu", yaitu: Alloh telah memerintahkan pada mereka dengan Al-Jama'ah, dan telah melarang mereka dari beberapa firqoh".

Sebagaimana dapat kita lihat firman Alloh Ta'alaa dalam Al-Qur'an, Surat Ali 'Imron, No. Surat: 3, Ayat: 105, yang berbunyi:
Yang artinya: "Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang berfirqoh-firqoh (pecah-belah, bercerai-berai) dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang besar".

Tentang perpecahan masing-masing agama, baik Yahudi, Nasrani maupun Islam dapat kita jumpai di dalam Hadits Sunan Abu Daud Kitaabus Sunnah Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
Yang artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya orang sebelum kalian yaitu dari ahli kitab pecah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya agama (Islam) ini akan pecah menjadi 73, dan yang 72 di dalam neraka dan satu di dalam surga, sedang yang satu itu adalah Al-Jama’ah”.

Menurut penjelasan Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits diatas tentang Yahudi ada 71 atau 72 golongan, Nasrani ada 71 atau 72 golongan, dan Islam sendiri ada 73 golongan, yang 72 golongan masuk di dalam neraka, dan hanya satu golongan yang masuk ke dalam surga. Adapun yang satu itu adalah "Al-Jama’ah”. Inilah yang disebut dengan Firqotun Najiyah, yaitu golongan yang selamat. Timbul satu pertanyaan “ Al-Jama’ah yang mana, nich? Tentu, Al-Jama’ah yang baik, taqwa dan ta’at kepada Alloh dan Rosuul-Nya. Seperti baik dan taqwanya Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam serta para sahabatnya, para tabi'in, para tabiut-tabi'in. Sebagaimana sabda Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam di dalam Hadits Tirmidzi, No. Hadits: 2565, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dan ummatku akan terpecah menjadi 73 golongan, mereka semua masuk di dalam neraka, kecuali hanya satu golongan (yang tidak masuk neraka). Mereka (sahabat) berkata: “Dan siapakah yang satu golongan itu, ya Rosulalloh? Rosululloh, bersabda: “yaitu (golongan) yang mengerjakan apa yang saya kerjakan dan yang dikerjakan oleh sahabat-sahabat saya”.

Hadits ini menjelaskan hadits yang menyatakan dari 73 golongan umat Islam, hanya satu yang dijamin masuk surga yaitu Al-Jama’ah. Al-Jamaah diterangkan hadits ini, yaitu orang-orang yang mengikuti sunnah / prilaku Rosulullohi shollallohu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat beliau. Oleh karena itu, standar kebenaran dan metode yang benar dalam memahami Islam adalah dengan memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits menurut pemahaman para sahabat Rosululloh, para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in. Inilah satu-satunya pemahaman yang dijamin Alloh Ta’alaa akan diterima dan masuk surga. Keutamaan Al-Jama'ah adalah barangsiapa beramal di dalam Al-Jama'ah ternyata benar maka Alloh menerimanya, dan jika salah Alloh mengampuninya. Selain (Jama’ah) itu, adalah Firqoh dan semua amalan dalam Islam yang Firqoh dijamin tertolak meskipun amalan yang dikerjakan itu benar dan jika salah maka hendaklah ia masuk neraka. Sebagaimana telah dilansir dalam Hadits Thobrooni, bahwa Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: “Barangsiapa yang beramal dalam Jama’ah, lalu benar, maka Alloh menerimanya, dan jika salah, Alloh mengampuninya. Dan barangsiapa yang beramal mencari yang Firqoh, lalu benar, maka Alloh tidak akan menerimanya, dan jika salah, maka hendaklah ia bertempat duduk pada tempat duduknya dari api (mak: di neraka)”.

Al-Jama’ah yang dimaksudkan di sini adalah Al-Jama’ah sebagai bentuk aslinya agama Islam yang menjalankan; 5 (lima) Rukun Islam, 6 (enam) rukun Iman, dan diteruskan dengan beramir, berbai’at, tho’at kepada Alloh, Rosul dan Amir, sebagaimana yang telah dilakukan para sahabat, tabi’in, tabi’it-tabi’in, tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumiddiin, yaitu imamul huda (Imam yang mendapatkan petunjuk / hidayah sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits), bukan jama’ah dalam arti secara lughot yang bermakna "semuanya" atau ‘berkumpul’ atau ‘lebih dari satu’, seperti yang kebanyakan orang tahu melalui Al-Qur'an terjemah pada umumnya yang tidak mengacu pada tafsir-tafsir yang telah dianjurkan oleh imamul hadits.
Perhatikan dengan seksama, dan camkan dengan baik-baik pesan Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam kepada sahabat Hudaifah bin Yaman, yang tercantum dalam Hadits Bukhori, Kitabul Fitan berikut ini:
Yang artinya: “Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda: “Menetapilah kamu (Hudaifah bin Yaman) pada jamaah muslimin dan imam mereka (artinya: carilah Islam yang berbentuk jama'ah dan yang mempunyai imam sebagai pemimpinya), aku (Hudaifah bin Yaman), berkata: “(Bagaimana) jika tidak ada jama’ah dan imam mereka? Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda: “Uzlah-lah (Pisahilah) segala bentuk firqoh-firqoh (ada 72 firqoh Islam), sekalipun kamu hanya makan akar / umbi pohon sehingga maut menjemput kamu sementara kamu atas keadaan demikian”.

Lafadhz "Talzamu Jama'atal Muslimin Wa Imaamahum" adalah kalam khabar, berita yang bermakna Amr (perintah). Rosul menginformasikan bahwa di dalam agama Islam yang benar bercirikan berjama'ah dan berimam, sekaligus merupakan perintah agar bergabung kedalamnya. Dan apabila hidup di suatu tempat tidak ada agama Islam yang dimaksudkan, maka hendaklah uzlah, yakni pergi ke hutan meski hanya makan umbi-umbian sampai mati. Ini terjadi jika di tempat tersebut hanya ada satu atau dua orang yang paham tentang keamiran, mereka belum kewajiban mengangkat seorang Amir. Akan tetapi jika sudah ada tiga orang lebih, maka mereka harus mengangkat salah satu di antara mereka menjadi Amir mereka. Ini menunjukkan betapa penting dan wajibnya berjama'ah dan beriman.

Berikut ini adalah berturut-turut dasar-dasar hukum perintah ber‘jama’ah’ dan larangan ber‘firqoh’:
1. Alloh hanya akan menolong pada Al-Jama'ah, dan yang membelot masuk neraka:
Di dalam Hadits Tirmidzi, Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: “Dan tangan (pertolongan) Alloh atas Al-jama’ah, dan barangsiapa yang membelot, maka ia membelot ke neraka”.

2. Menetapilah pada Al-Jama'ah, dan jauhilah Al-Firqoh:
Di dalam Hadits Tirmidzi, Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: “Kamu sekalian menetapilah pada Al-Jama’ah, dan takutlah kamu sekalian pada Al-Firqoh”.

Sabda Rosululloh tersebut di atas merupakan perintah menetapi Al-Jama'ah yang sangat jelas, karena lafadhz “’Alaikum” dalam hadits ini, adalah Isim Fi'il Amr.

3. Al-Jama'ah adalah Rohmat, sedangkan Al-Firqoh itu adzab / siksa:
Di dalam Hadits Ahmad, Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: “Al-Jama’ah adalah rohmat (kasih sayang), sedang Al-firqoh adalah adzab / siksa”.

4. Siapa ingin masuk surga hendaknya menetapi Al-Jama'ah:
Sebagaimana sabda Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam di dalam Hadits Tirmidzi, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dan barangsiapa yang menghendaki (masuk / hidup) di tengah-tengah surga, maka hendaklah ia menetapi Al-Jama’ah”.

Berikut ini dasar-dasar yang menguatkan pentingnya Al-Jama'ah:
1. Siapa yang keluar dari Al-Jama'ah, maka putus tali Islam dari lehernya:
Di dalam Hadits Abu Daud, Rosulullohi shollallohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: “Maka sesungguhnya saja, barangsiapa yang keluar dari Al-Jama’ah kira-kira satu jengkal, maka sungguh tali Islamnya telah lepas dari lehernya kecuali jika ia kembali lagi”.

2. Siapa yang memisahi Al-Jama'ah satu jenkal saja lalu mati, maka ia mati jahiliyah:
Di dalam Hadits Bukhori, Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: “Maka sesungguhnya saja, barangsiapa yang memisahi Al- Jama’ah satu jengkal saja, lalu ia mati, maka ia mati dengan kematian jahiliyah”.

Di dalam agama Islam yang masih konsisten (istiqomah) terhadap Al-Jama'ah, dapat dilihat garis keamiran, kepengurusan, dan rukyah sangat jelas dan tegas.

Jelaslah, bahwa alternatif solusi yang layak untuk kita jadikan pilihan adalah mengembalikan pemahaman Islam berikut metodologinya kepada Qur’an-Hadits dengan mengikuti manhaj salafus sholih. Agar kita mampu mengentaskan diri dari kenistaan kubangan jahiliyyah dan selamat dari tindak penyimpangan dan penyelewengan. Yakni, sebuah manhaj yang di dalamnya telah terekpleksikan seluruh manhaj ahlus sunnah wal jama’ah. Sebuah manhaj yang berisi tentang bagaimana para salafus sholih berakidah, berakhlak, berjihad, berijtihad, berammar ma’ruf nahi munkar dan mengurus segala lini kehidupan lainnya melalui 4 Serangkai, yaitu:
1. Amir, bertugas: berijtihad, nasehat, mengatur, menglulu, memansukh (meralat), menansih (merevisi), memerintah, melarang, mencoba / menguji dengan betul-betul adil, rofiq, muhsin, aris (tidak cepat memvonis) kepada rukyahnya secara Al-Qur’an dan Al-Hadits dan bil ma’ruuf karena Alloh.

2. Ulama’ / muballigh, bertugas: menyampaikan ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits kepada para jama’ah sehingga masing-masing jama’ah benar-benar mengerti dan paham terhadap ilmu dari Al-Qur'an dan Al-Hadits yang telah diterima, dan bisa mengamalkan isi / kandungan Al-Qur’an dan Al-Hadits secara benar.

3. Penerobos, bertugas: melancarkan peraturan Alloh, Rosul, Amir hingga lancar, dan seluruh jama’ah menjadi mengerti terhadap hak dan kewajibannya sebagai orang islam, orang iman, sebagai jama'ah.

4. Aghniya’, bertugas: sebagai donatur, memelopori, menyeponsori, mandegani, mengebosi untuk kelancaran agama Islam yang berpedoman Al-Qur’an dan Al-Hadits yang berbentuk Jama’ah ini agar tetap lestari sampai hari kiamat.

Dan dibantu oleh para Team Work, yaitu:
1. Tim Bacaan, bertugas: memperbaiki, membenarkan bacaan Al-Qur’an bagi jama’ah yang bacaan Al-Qur’annya belum baik dan benar, supaya jama’ah benar-benar bisa membaca Al-Qur’an dengan benar menurut hukum bacaa (bertajwid). Terutama kepada para imam sholat, dan kepada seluruh jama’ah.

2. Tim Mondar-mandir, bertugas: mengurusi, meramut / memelihara / menjaga jama’ah yang kurang sambung, mbledong, terpengaruh hingga bisa sambung jama’ah lagi.

3. Tim Dhu’afa’, bertugas: mengurusi / menjaga jama’ah yang kurang mampu (lemah ekonominya) diarahkan supaya mau bekerja hingga mempunyai penghasilan yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

4. Tim Hutang Piutang, bertugas: mengurusi jama’ah yang mempunyai hutang yang sudah melewati batas janjinya, namun belum juga dapat mengembalikan hutangnya. Terutama kepada jama’ah yang pinjam atau berhutang kepada sabilillah, dinasehati supaya bisa mengembalikan pinjaman atau hutangnya.

5. Tim Penyelesaian, bertugas: menyelesaikan urusan / persoalan-persoalan antara sesama jama’ah, termasuk masalah perkawinan.

6. Tim Basyiron Wa Nadziron / Surga dan Neraka, bertugas: memberikan pemantapan kedalam, termasuk nasehat-nasehat gemblengan, nasehat Bab Keamiran, Ketho’atan, dan ammar ma’ruuf nahi munkar keluar untuk memasyarakatkan Al-Qur’an dan Al-Hadits yang berbentuk Jama’ah ini hingga dapat berkembang, berbuah, beranak, jaya, berwibawa, berguna, mulia sampai hari kiamat.

7. Tim Aghniya’ Haji dan Zakat, bertugas: mengarahkan jama’ah yang kaya, yang mampu supaya menetapi kewajibannya. Bagi jama’ah yang sudah mampu haji, dinasehati supaya berangkat haji. Bagi yang hartanya sudah nishob zakat dinasehati supaya menunaikan zakatnya, seperti; zakat Maal (harta), zakat Tijaroh (dagangan), dan dinasehati supaya memperbanyak shodaqoh untuk amal jariyah.

8. Tim Perkawinan, bertugas melancarkan dan mengurusi masalah perkawinan, mulai dari cara lamar-melamar kepada sesama jama’ah hingga selesai.

9. Tim Faroo-idh / Warits, bertugas: mencatat harta milik, washiat, hutang dan piutang serta ahli warits dari jama’ah yang meninggal dunia, kemudian menghitung dan membaginya yang benar sesuai dengan ilmu Faro’idh yang adil.

10. Tim Kematian, bertugas: mengurusi, menyelesaikan dengan cepat dan merasa ringan, mulai dari memandikan, mengafani, menyolati sampai dengan menguburkan bila mana ada jama’ah yang meninggal dunia.

11. Tim Pembangunan, bertugas: merencanakan dan membuat bangunan untuk masjid, tempat pengajian serta sarana-sarana yang lain.

12. Tim Inventaris, bertugas: menghimpun, menjaga / meramut / merawat dan melaporkan benda-benda milik sabilillah agar tetap terjaga / terpelihara / terawat dengan baik, sehingga sewaktu-waktu akan dibutuhkan dapat digunakan dengan lancer dan barokah.

13. Tim Gambuh (Soul Mate), bertugas: memberikan nasehat, dorongan kepada jama’ah yang mempunyai masalah, yang sedang kendor, mbules, yang membutuhkan nasehat, dorongan kepada orang yang dicocokinya sehingga yang dinasehati itu bias / mau menerima nasehatnya dan mau merubah sikapnya.

Demikian tadi merupakan realisasi, perwujudan dalam rangka mengamalkan firman Alloh Ta'alaa dalam Al-Qur’an, Surat Al-Maaidah, No. Surat: 5, Ayat: 2, yang berbunyi:.
Yang artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Alloh, Sesungguhnya Alloh sangat berat siksa-Nya”.

Tentunya, sudah menjadi tanggungjawab kita semua sebagai umat Islam, bahwa jika kita ingin menjaga agama Islam yang haq ini tetap terjaga kemurniannya, maka fatwa dari firman Alloh Subhaanahu Wa Ta’alaa dan fatwa-fatwa Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam lebih utama untuk diambil daripada fatwa-fatwa para sahabat, dan fatwa para sahabat lebih utama untuk diambil daripada fatwa-fatwa para tabi’in, dan fatwa-fatwa para tabi’in lebih utama untuk diambil daripada fatwa-fatwa para tabi’ut-tabi’in, dan fatwa-fatwa para tabi’ut-tabi’in lebih utama untuk diambil daripada fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat ulama kontemporer. Karena dekatnya fatwa terhadap kebenaran sangat tergantung (terkait) dengan kedekatan pelakunya dengan masa Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam. Maka, fatwa-fatwa sahabat lebih didahulukan untuk diambil daripada fatwa-fatwa tabi’in, dan fatwa-fatwa tabi’in juga harus lebih didahulukan daripada fatwa-fatwa tabi’ut-tabi’in.

3. Dalil-dalil yang Menunjukkan Wajib Beramir.
3.1. Agama Islam Wajib Beramir:
Sebagaimana dapat kita lihat firman Alloh Ta'alaa dalam Al-Qur'an, Surat An-Nisaa', No. Surat: 4, Ayat: 59, yang berbunyi:
Yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman ta'atilah Alloh dan Rosul serta Ulil Amri (Amir) dari (golongan) kamu sekalian".

3.2. Berikut ini adalah dasar hukum perintah beramir:
Sebagaimana telah diungkapkan dalam Hadits Musnad Ahmad, bahwa Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasllam bersabda:
Yang artinya: “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di sebahagian permukaan bumi kecuali mereka menjadikan Amir pada salah satu mereka untuk mengatur salah satu mereka”.

3.3. Berikut ini adalah Dasar Hukum Pemerintah Orang Iman ialah Amir bukan Presiden:
Sebagaimana sabda Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam di dalam Hadits Ibnu Majah Juz 2 Hal 955, yang berbunyi:
Yang artinya: “Jika yang dijadikan Amir kamu adalah hamba Habasyi yang cacat, maka dengarkanlah dia dan ta’atilah selama dia menuntun kamu dengan kitab Alloh (Al-Qur'an, bukan dengan UUD '45, GBHN maupun KUHP)”.

Sebagai gambaran saja; Amir atau Imam itu ibarat sebuah logam mulia, katakanlah “emas", atau batu permata "intan” yang memiliki nilai jual cukup tinggi, maka tak heran setiap orang ingin sekali mempunyai benda tersebut karena harganya yang cukup mahal. Nach.., yang enak adalah orang yang memiliki emas atau intan tersebut. Dan tidak ada seorangpun yang ingin menjadi emas atau intan itu! Dasarnya adalah sebuah hadits dari Abdir Rohman bin Samuroh, Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi wasallam, bersabda:
Yang artinya: “Kamu jangan meminta untuk menjadi Amir, karena barangsiapa yang menjadi Amir dari meminta, maka akan diserahkan sepenuhnya kepadanya (Alloh tidak akan menolongnya)”.

Alasannya adalah sabda Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam dalam Hadits Riwayat Musnad Ahmad, yang berbunyi:
Yang artinya: “Celaka bagi Umaro' (para Amir), celaka bagi para pengurus, celaka bagi orang-orang yang diberi amanat (jika mereka tidak dapat melaksanakanya dengan baik)”.

Amir atau Imam bukanlah produk politik, tapi merupakan perwujudan dalil yang benar tentang kepemimpinan dalam Islam menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits Nabi, ia sebagai pengayom komunitasnya. Amir atau Imam itu bukanlah pejabat dan bukan juga suatu jabatan yang bisa diminta dengan cara mencalonkan diri kemudian mengadakan kampanye dengan mengumbar janji-janji palsu dan memberikan iming-iming sedikit uang serta sembako kepada orang banyak agar mau memilihnya untuk menjadi Kepala Daerah atau Kepala Negara, kemudian setelahnya menjadi Kepala Daerah atau Presiden mendapatkan uang gaji pokok dan lain sebagainya. Sedangkan Amir / Imam / Sulthon tidak mendapatkan gaji pokok atau pun mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun, ia memimpin umat Islam murni hanya mengharapkan balasan / ganjaran dari Alloh Ta'alaa. Sebagaimana dahulu para Rosul dan Nabi juga tidak meminta imbalan kepada umatnya atas menyampaikan agama dan memimpin umatnya. Alloh berfiman dalam Al-Qur'an, Surat Al-An 'am, No. Surat: 6, Ayat: 90, berbunyi:
Yang artinya: “Katakanlah (Muhammad): "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur'an)". Al-Qura'n itu tidak lain hanyalah peringatan untuk orang-orang seluruh alam.

Sebagian orang memandang tabu terhadap istilah "Amir" atau "Imam", yaitu pemerintah dalam agama Islam, karena istilah "Amir" atau "Imam" ini senantiasa mereka hubung-hubungkan dengan pemimpin bagi sebuah kelompok Islam radikal yang bergerilya ingin mengadakan kudeta, atau mereka kait-kaitkan dengan Islam garis keras yang bersifat radikal yang ingin mendirikan negara Islam, mendirikan negara di dalam negara. Padahal keamiran, keimaman dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi bukanlah pengertiannya seperti itu, bukan pula untuk mengultuskan seorang manusia melainkan sistem kepemimpinan dalam agama Islam untuk mengatur dan mengurusi umat Islam yang mengikutinya selama perintahnya tidak maksiat, jika perintahnya maksiat maka tidak perlu didengarkan dan tidak perlu dita'ati. Sebagimana sabda Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam di dalam Hadits Muslim Juz 6 Hal 15, yang berbunyi:
Yang artinya: “Wajib bagi seorang muslim mendengarkan dan ta’at dalam hal yang ia senangi dan yang ia benci kecuali apabila diperintah untuk melakukan kemaksiatan, jika diperintah maksiat maka jangan mendengarkan dan jangan ta’at”.

Jadi begini ya, bagi umat Islam yang hidup sezaman dengan para rosul, nabi, mereka mendapat kesempatan dipimpin langsung oleh seorang rosul atau seorang nabi hingga mendapatkan kesempatan untuk memahami dan mengamalkan agama Alloh dengan mengikuti petunjuk, bimbingan dan arahan para rosul atau para nabinya. Adapun kita yang hidup setelah Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam sebagai penutup dari para nabi itu telah wafat, maka untuk selanjutnya yang meneruskan perjuangan Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dalam membina, mendidik, mengarahkan dan meramut umat Islam adalah para kholifah. Sebagaimana yang telah kita ketahui, yaitu kholifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khoththob, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Tholib. Setelah itu, kepemimpinan umat Islam ini dilanjutkan oleh para Amir atau Imam. Hal ini telah sesuai dengan sabda Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, yang tercantum dalam Hadits Muslim, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dulu, orang-orang Bani Isra’il dipimpin oleh para nabi, ketika ada seorang nabi yang meninggal dunia, maka yang menggantikannya pun seorang nabi. Namun, setelahnya aku meninggal dunia, maka tidak akan ada nabi lagi, dan yang akan menjadi pemimpin adalah para khulafa’ yang banyak. Mereka berkata, “Lantas apa yang akan engkau perintahkan kepada kami? Rosul bersabda: “Tetaplah pada bai’at yang awal, maka (bai’at) yang awal itulah yang benar, dan berikanlah hak mereka (khulafa’; kholifah, Amir). Sesungguhnya Alloh akan bertanya kepada mereka dari kepemimpinan mereka”.

Setelah Nabi Muhammad Sholallohu ‘Alaihi Wasallam wafat, Alloh tidak mengutus rosul dan nabi lagi, sedangakan waktu hidup di dunia ini masih cukup panjang, yakni sampai hari kiamat. Maka untuk membina, mendidik, mengarahkan dan meramut umat Islam agar mereka dapat memahami tugas dan kewajibannya sebagai hamba Alloh yang baik dan ta'at beragama sangat diperlukan seorang pemimpin yang paham dan ta’at beragama pula, yaitu seorang Amir. Dalam bernegara, mereka dipimpin oleh seorang Presiden.

Kewajiban seorang Amir atau Imam, adalah mengajak untuk mengaji Al-Qur’an dan Al-Hadits, mengamalkan Al-Qur’an dan Al-Hadits, membela Al-Qur’an dan Al-Hadits, sambung berjama’ah secara Al-Qur’an dan Al-Hadits, ta’at kepada Alloh, ta’at kepada Rosululloh, ta’at kepada Ulil Amri dengan mengikuti dalil-dalil yang haq dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi, untuk menuju jalan kebaikan yang diridhoi Alloh Subhaanahu Wa Ta’alaa. Mengajak untuk menjalankan sepenuhnya lima rukun Islam dan enam rukun Iman. Inilah yang dikatakan dengan kunci sukses menetapi agama Islam. Jadi, samasekali tidak ada hubungan dan kaitannya dengan politik, dan tidak melanggar UUD 45 maupun Pancasila, bahkan malah melancarkannya. Sebagaimana sabda Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam di dalam Hadits Ibnu Majah Juz 2 Hal 955, yang berbunyi:
Yang artinya: “Jika yang dijadikan Amir kamu adalah hamba Habasyi yang cacat, maka dengarkanlah dia dan ta’atilah selama dia menuntun kamu dengan kitab Alloh (bukan dengan UUD '45 atau KUHP)”.

Kalau-lah ada sebagian orang Islam yang memandang tabu terhadap istilah Amir atau Imam di dalam agama Islam yang berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi, kemungkinan karena kurangnya ia memahami hukum-hukum Islam secara "kaaffaah" menyeluruh, dan atau bahkan karena kurangnya ilmu pengetahuan dan wawasan tentang Hadits Nabi secara baik dan benar, sehingga ia berkeyakinan "kalau golongan yang telah mengangkat dan memiliki seorang Amir dibiarkan, maka akan menjadi bahaya" karena dapat mengguncang sikap-sikap dasar yang selama ini menjadi pegangan golongannya, yakni "kitab kuning" yang seakan-akan sudah menjadi semacam kitab suci di kalangan mereka. Padahal, kitab tersebut bukanlah hadits melainkan kitab karangan, oleh karena itu lambat tapi pasti kitab tersebut akan kehilangan pembacanya, karena hijroh ke pemahaman agama Islam yang sebenarnya, yang konsisten dalam menjaga kemurnian Al-Qur’an dan Al-Hadits Nabi. Insyaa Alloh.

Amir atau Imam berasal dari bahasa Arab yang artinya pemimpin dalam agama Islam, beribadah seperti: Amirul Hajj (orang yang memimpin perjalanan ibadah haji), Imam Sholat (orang yang memimpin sholat), pengayom bagi jama’ahnya. Di dalam Hadits Riwayat Thobrooni, Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: “Ta’atlah kepada setiap Amir, dan sholatlah dibelakang setiap Imam”.

Didalam Hadits Shohih Muslim, Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: “…Dan barangsiapa yang taat kepada Amir maka sungguh ia taat kepadaku (rosul), dan barangsiapa yang mendurhakai Amir maka sungguh ia mendurhakaiku”.

Lihatlah dengan basyiroh (senang hati) cara beribadah umat Islam yang telah menjalankan Islamnya dengan berjama'ah, beramir, berbai'at dan berta'at! Sudah pasti umat tersebut senantiasa mau mendengarkan dan mematuhi dengan tekunnya semua ayat, hadits, peraturan dalam agama maupun dalam pemerintah yang sah yang disampaikan oleh para ulama dan umaro’ serta muballighnya. Semua dilakukan dengan tertib, tekun dan penuh disiplin dibawah pimpinan Ulil Amri atau Amirnya. Semuanya melambangkan kesatuan umat Islam yang masih utuh sebagaimana hidup dizaman Rosulullohi Shollallohu 'Alaihi Wasallam. Lihatlah manunggalnya imam dan makmun, Amir dan rukyah, bersatunya pimpinan dengan yang dipimpin. Dalam hal ini, bukan semata-mata disiplin yang merupakan hubungan antara Ulil Amri atau Amir yang memimpin dengan para jama’ah atau rukyah yang dipimpin, tetapi ada hak, malahan menjadi suatu kewajiban bagi jama’ah atau rukyah membetulkan Ulil Amri, yaitu bilamana Ulil Amri keliru memberikan sebuah fatwa atau lupa akan kewajibannya sebagai Ulil Amri, yakni memberi nasehat, berijtihad, mengatur, berbuat adil, rofiq, muhsin dan aris. Memang, yang menjadi Ulil Amri itu adalah jama'ah yang terpilih dan terbaik diantara semua jama’ah dibidang keagamaan; utamanya dalam hal memimpin. Akan tetapi namanya Ulil Amri atau Amir juga manusia biasa, tentu masih bisa keliru atau lupa, maka keta'atan terhadapnya menjadi tidak mutlak, yaitu selama perintahnya tidak maksiat.

Tidak ada seorang pun dari umat manusia yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) setelah Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam. Maka dengan sebab itulah Alloh memerintahkan untuk merujuk kepada Alloh dan Rosululloh dalam perselisihan. Alloh tidak memerintahkan untuk kembali kepada pendapat fulan dan perkataan fulan. Dengan itu semua, maka dimaklumi bahwasannya tidak ada perkataan siapa pun yang ma’shum setelah firman Alloh dan sabda Rosululloh.

Diwaktu terjadi kesalahan, maka diantara makmum atau jama'ah yang mengetahui ada kekeliruan pada Ulil Amrinya tidak boleh diam saja, membiarkan Ulil Amrinya salah, dan turut bersama-sama jama’ah yang lain mengikuti kesalahan itu. Dia harus mengoreksinya dengan arif dan bijaksana dan beretika. Semua hubungan dan interaksi antara Ulil Amri dan para jama’ahnya dilakukan dalam suasana ikhlaash, untuk memelihara keselamatan bangsa, negara dan agama dari pengaruh negatif perkembangan zaman akhir melalui dakwah Islam. Dan perintahnya bisa menjadi mutlak apabila fatwanya itu tidak maksiat dan berdasarkan hasil musyawaroh, didasari dengan kitab Alloh Wasunnatin Nabiyyihi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam.

Bilamana diteliti secara obyektif, sekurang-kurangnya ada tiga hikmah dan pelajaran yang dapat dipetik dari umat Islam yang memiliki konsep berjama'ah, beramir, berbai'at dan berta'at ini:
1. Persaudaraan yang diikat oleh aqidah dan identitas yang sama, diantara para anggota jama’ah dapat dipelihara dan ditingkatkan menjadi ikataan persaudaraan dalam satu jama’ah fiddunya wal akirot.

2. Secara tidak langsung tetapi cukup berkesan dapat dilatihkan cara menegakkan ketertiban dalam hidup berjama’ah dengan disiplin yang tumbuh dari dalam hati tanpa ada paksaan.

3. Dapat ditanamkan rasa tanggung jawab pada yang dipimpin, dan kerelaan dikoreksi pada pihak yang memimpin, bilamana perlu untuk keselamatan bersama.

Bagi para penyelenggara negara, aparatur pemerintah tidak perlu berang atau demo besar-besaran memprotes hadits tersebut, menangkap komunitas muslim yang mempunyai Amir / Imam, karena kwalitas hadits tersebut shohih. Jadi, antara Pemerintah Negara dan Ami / Imam dalam agama Islam, ibarat rel kereta api yang berbeda posisi dalam satu jalur menuju tujuan penumpangnya masing-masnig.

Adapun Presiden, Pemerintahan Negara adalah hasil dari UUD 45 dan GBHN melalui pemilu yang LUBER (Langsung Umum Bebas Rahasia) untuk memerintah dan mengatur warga negara dari semua golongan masyarakat yang majemuk, seperti beragam agama, budaya, sosial, politik, ekonomi. Pendek kata, murni urusan duniawiah. Sedangkan Amir / Imam hasil dari Al-Qur’an dan Hadits melalui musawarah untuk mengurusi khusus orang muslim, orang iman khusus dalam urusan agama / akhirot. Coba perhatikan dan simak secara seksama, buang ego dan gengsi, serta jernihkan hati serta lapangkan dada lantas fahami sabda Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam, yang tersurat di dalam Hadits Shohih Muslim Juz 6 hal 9, berikut ini:
Yang artinya: “Tidak ada dari seorang Amir yang mengatur perkara orang-orang muslim kemudian ia tidak berijtihad dan nasehat pada mereka kecuali ia tidak dapat masuk surga bersama mereka”.

Oleh karena itu di dalam bernegara, bermasyarakat Amir / Imam tidak berfungsi sebagai pemimpin masyarakat, juga bukan Jaksa Agung atau Depag maupun MUI yang dapat mengeluarkan fatwa semaunya sendiri. Amir / Imam dita'ati dengan pertimbangan, yaitu selama perintahnya baik dan tidak maksiat, tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah yang sah, Pancasila dan UUD 45, GBHN, Tap-tap MPR, DPR, Perda, dll. Tidak juga menyebabkan umat menjadi celaka, bikin onar, karena acuan ijtihad dan hukumnya adalah Kitab Alloh, Al-Qur'an. Perhatikan dan simak baik-baik dengan seksama firman Alloh yang tercantum dalam Al-Qur’an, Surat Thoohaa, No. Surat: 20, ayat: 2, yang berbunyi:
Yang artinya: “Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah / celaka”.

Jadi…, para penyelenggara / pemerintah negara ini tidak perlu merasa takut, khawatir, risih, risau, resah, gelisah atau terancam celaka, apapun istilahnya. Karena, istilah Amir / Imam, bai’at dan sebagainya itu dalam Islam bukanlah ancaman bagi pemerintahan negara, sebab semua itu sudah direkomendasikan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, tinggal masing-masing yang berkepentingan silahkan membuka kitab pedoman aslinya orang Islam, jangan membuka kitab-kitab karangan karena hanya akan menjauhkan dari kebenaran yang diharapkan. Alloh Ta'alaa berfirman dalam Al-Qur'an, Surat Al-An'am, No. Surat: 6, Ayat: 153, yang berbunyi:
Yang artinya: "Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah itu, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Alloh agar kamu bertakwa".

Dan jika Anda sudah pernah mendapat informasi atau mendengar dari orang lain terhadap apa yang selama ini dianggap sesat atau keliru ternyata setelah Anda cek ternyata ada dasarnya yang di ambil dari dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits, maka mau tidak mau Anda harus mengakui kebenaran tersebut serta meyakininya, kemudian Anda bergabung dengan kami di majlis ta'lim ini sambil terus membenahi apa yang belum dilakukan, belum sempurna. Apa, jangan-jangan Anda malah belum memiliki Al-qur’an dan Al-Hadits atau sudah punya tapi tidak dapat membaca serta memahaminya dengan baik, belum lagi ditambah dengan perasaan malu dan gengsi jika ingin bergabung dengan majlis ini, atau bahkan boleh jadi karena faktor cemburu sosial, fanatisme buta mungkin sehingga tetap bersikukuh menganggap majlis ini sesat dan menyesatkan, padahal belum pernah tahu apa sesungguhnya yang dipelajari di majlis ini. Atau boleh jadi, di dalam hati mengakui kebenaran apa yang telah dikaji di majlis ini, tetapi di bibir enggan mengatakan yang sebenarnya kepada kawan-kawan. Ketika terjadi konflik agama akhirnya bukan solusi yang ditawarkan tapi justru membuat statement yang dapat memicu terjadinya konflik lebih besar, seperti membuat pernyataan “Setuju kalau majlis ta'lim ini dibubarkan!”, padahal sendirinya samasekali tidak mengetahui secara persis lebih jauh dari dalam tentang materi yang kami sampaikan di dalam majlis ini adalah benar, haq. Jika, ungkapan tersebut datangnya dari seorang Menteri Agama, Depag, MUI, Jagung, ICMI atau Da’i kondang, ustadz atau ustadzah sungguh sangat disayangkan, karena cara yang demikian kurang arif dan bijak, sebab cara-cara demikian tidak menyelesaikan masalah. Sangat diharapkan hukum yang dijadikan sebagai barometernya adalah Al-Qur'an dan Al-Hadits, bukan laporan sepihak dari orang-orang tertentu yang tidak bertanggung-jawab, padahal sendirinya tidak banyak mengetahui tentang keadaan yang sebenarnya. Maka, pangkat dan jabatan yang disandang tidak boleh masuk ke ranah agama lalu ingin merubah dan mengubah ketetapan Alloh dan Rosul-Nya, karena Alloh bisa marah. Coba perhatikan dan simak secara seksama serta jernihkan hati, lantas fahami sabda Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam berikut ini:
Yang artinya: “Sesungguhnya Alloh murka kepada orang yang pandai dibidang keduniawian tapi bodoh dengan urusan akhirat”.

Seharusnya antara pemerintahan negara, penyelenggara negara dan pemerintah dalam agama Islam khususnya dan umumnya semua agama dapat bersinergi, bekerja sama yang cantik sehingga bisa bersatu padu seperti sekeping uang asli yang memiliki dua sisi yang berbeda namun bisa untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup besama guna mewujudkan baldatun thoyyibatun wa robbun ghofuur, yaitu sebuah negara yang subur makmur dan berketuhanan Yang Maha Pengampun.

Para penyelenggara negara yang muslim, beragama Islam seharusnya tidak usah merasa malu atau takut menerima dan mengamalkan firman Allooh dan sabda Rosuul-Nya, sebab hal tersebut adalah barang haq dan merupakan haknya setiap orang muslim yang mau tidak mau harus menerima dan mengamalkannya, jika masih ingin disebut sebagai muslim, mu’min atau umat Nabi Muhammad Shollallohu 'Alaihi Wasallam yang baik, sholeh. Terlebih-lebih jika posisi Anda adalah sebagai ‘Alim ‘Ulama merupakan gudang ilmu agama Islam, Warotsatul Anbiya’ pewaris para nabi dan Mila’ul Islam bendera Islam, maka sudah semestinya turut bertanggung jawab dalam hal ini, bahkan hendaknya merasa tertantang untuk ikut menggali dan mengungkap hal-hal yang masih dianggap menakutkan, misteri, asing, aneh, tidak umum. Padahal semua ini bagian dari agama Islam yang tidak dapat dipisahkan dengan syare'at yang lain. Ataukah sengaja ada niatan ingin menyembunyikan barang haq tersebut? “Na’uudzu Billaahi Min Dzaalik”. Coba, perhatikan dan simak baik-baik dengan seksama firman Alloh yang tercantum dalam Al-qur’an, Surat Ali Imroon, No. Surat: 3, ayat: 71, yang berbunyi:
Yang artinya: “Mengapa kamu mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya?”.

Oleh karena itu, bantulah pemerintah terkait yang muslim serta umat muslim pada umumnya untuk memahami hal-hal yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai hamba Alloh, dan sebagai umat Nabi Muhammad, untuk segera menyadari betapa penting dan wajibnya menuntut ilmu agama, mengerjakan, mengikuti, dan menjalankan perintah Alloh dan Rosuul-Nya, menjauhi larangan Alloh dan Rosuul-Nya, mempercayai cerita Alloh dan Rosuul-Nya yang ada didalam Al-Qur’an dan Al-Hadits sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad Rosululloh Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam secara keseluruhan, totalitas.

Berdasarkan uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa beramir itu hukumnya fardhu, wajib di dalam agama Islam yang diridhoi Alloh dan Rosululloh. Dan sangat tidak mungkin jika Amir / Imam sebagai naungan Alloh di muka bumi ini akan mengeluarkan fatwa selain anggotanya “Halal Darahnya”. Sangat tidak mungkin membenci, memperolok, menghujat, menghina, memaki, dan meremehkan orang lain, karena sifat semacam ini bukanlah thobi’at / karakter orang mukmin. Apalagi sampai memerintahkan membunuh orang yang tidak berhak untuk dibunuh menurut hukum, jelas itu perintah yang maksiat dan melakukannya adalah harom, syirik, tindakan kriminal, tindak pidana melanggar hukum Islam juga melanggar KUHP, berarti mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya. Logikanya anjing, pelacur, pencuri yang kehausan dan kelaparan saja supaya ditolong apalagi manusia yang memiliki peradaban tinggi merupakan karya cipta Alloh sebagai bukti kemahakuasaan-Nya yang sempurna. Di dalam Al-Qur’anul Kariim, Surat At-Tiin, No. Surat: 95, Ayat: 4, Alloh berfirman:
Yang artinya: “Niscaya, sungguh Kami (Alloh) telah menciptakan manusia dalam sebaik-baiknya bentuk”.

Dalam rangka meramaikan kehidupan di planet bumi ini, antara satu sama lain hendaknya tidak saling melakukan hal-hal yang tidak terpuji yang dapat menciptakan suasana tidak rukun. Di dalam Hadits Shohih Muslim, Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: “Janganlah kamu saling membenci, dan janganlah saling meremehkan, dan jangan mengunggulkan diri sendiri. Wahai hamba-hamba Alloh menyaudaralah kamu sekalian”.

Islam adalah agama Rohmatal Lil’aalamiin yang dibawa oleh seorang rosul uswatun hasanah yang senantiasa menebarkan kasih dan sayang kepada seluruh umat penghuni planet bumi ini. Islam adalah agama yang senantiasa mengajak dan menceritakan kebaikan yang menggembirakan termasuk memilih pemimpin; Amir atau Imam yang baik adalah pemimpin yang mau mengayomi kaum yang lemah, yang tertindas terutama bagi muslim yang sudah berikrar dua kalimat syahadat dan tidak mudah memvonis ataupun menteror. Di dalam Riwayat Ibnu Najjar dari Abu Huroiroh, Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: “As-Sulthon (Amir / Imam; pemerintah islam) adalah naungan (tempat berlindung) di bumi bagi orang yang lemah dan orang yang tertindas”.

Seorang Amir atau Imam yang rofiq, muhsin, aris dan adil tidak mungkin berijtihad atau memerintahkan umat berbuat kedhzoliman, bertindak anarkis, merusak, menyakiti orang lain. Di dalam Hadits Sunan Abu Daud dan Musnad Ahmad, Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: “Tidak halal darahnya seseorang muslim yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Alloh dan sesungguhnya aku adalah utusan Alloh”.

4. Dalil-dalil yang Menunjukkan Wajib Berbai'at.
4.1. Wajib Berbai'at.
Sebagian orang juga memandang tabu, serem terhadap kalimat “Bai’at”, yaitu janji setia. Karena, kalimat bai’at ini senantiasa mereka hubung-hubungkan dengan sebuah kelompok Islam radikal yang bergerilya ingin mengadakan pemberontakan, atau mereka kait-kaitkan dengan Islam garis keras yang kolot, ortodok banget yang ingin mendirikan negara Islam, ingin memaksakan kehendak merubah undang-undang 45 dan dasar Negara Indonesia, yaitu Pancasila dengan syare’at Islam dengan cara membai’at pengikutnya terlebih dahulu untuk menyatakan kesanggupannya walaupun nyawa taruhannya tanpa ada reserve.

Padahal “Bai’at” di dalam agama Islam, Al-Qur’an dan Hadits Nabi pengertian Bai’at bukanlah seperti itu, melainkan seperti yang dulu pernah diikrarkan oleh sahabat kepada Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, yakni janji setia yang menyatakan kesanggupan untuk mendengarkan, dan ta’at melakukan hal kebaikan selama masih mampu untuk mengerjakannya serta kesanggupan untuk menjauhi hal-hal yang buruk sejauh-jauhnya. Jadi, istilah Bai’at itu ada dan dilakukan sejak zaman Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam. Tetapi sayang seribu sayang, sesuatu yang mulia seperti itu telah dikotori oleh orang-orang tertentu, kelompok-kelompok tertentu yang dipakai untuk menggolkan keinginan nafsunya.

Adapun bahasa Indonesianya Bai’at adalah janji setia untuk mentaati peraturan Alloh dan Rosul-Nya. sesuai dengan yang tercantum di dalam Al-Qur’an Surat Al-Fath, No. Surat : 48, Ayat : 10, yang berbunyi:
Yang artinya : “Bahwasannya orang-orang yang berbai’at (berjanji setia) kepada kamu sesungguhnya mereka berbai’at (berjanji setia) kepada Alloh”.

Dan ayat : 18, dari surat Al-Fath, No. Surat : 48, yang berbunyi:
Yang artinya : “Sesungguhnya Alloh telah ridho terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berbai’at (berjanji setia) kepadamu di bawah pohon, maka Alloh mengetahui apa yang ada didalam hati mereka lalu Alloh menurunkan kemenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)…”.

Alloh berfirman di dalam Al-Qur’an Surat Al-Mumtahanah, No. Surat : 60, Ayat : 12, yang berbunyi:
Yang artinya : “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan berbai’at (janji setia) bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Alloh, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka (pengakuan-pengakuan palsu) dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia (bai’at) mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Alloh untuk mereka. Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Berbai’at menurut Alloh dan Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam hanya untuk kebajikan, kemashlahatan, merubah akhlaq Jahiliyah agar menjadi akhlaqul karimah yaitu akhlaq yang terpuji dengan tujuan semata-mata hanya urusan agama, dan ingin masuk surga Alloh dan selamat dari neraka Alloh. Sebagaimana di dalam Hadits Muslim, juz 1 hal 54, dapat kita lihat dari pengakuan seorang sahabat yang bernama jarir, ia berkata:
Yang artinya: "Aku berbai'at kepada Rosulullohi Shollallohu 'Alaihi Wasallam atas menetapi / mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan berbuat baik kepada setiap orang Islam".

Berbai'at bukan untuk kemudhorotan, pemberontakan, pembelotan, pembangkangan, kudeta ataupun ingin membentuk negara dalam negara, sama sekali bukan itu tujuan bai’at. Kalau-lah itu yang menjadi tujuannya, maka itu namanya sudah salah niat, yakni dengan memperalat dalil bai’at. Menyalah-gunakan Bai’at untuk kepentingan pribadi karena terobsesi ingin menjadi pemipin yang dita’ati, biar nantinya bisa mengatur anak buah dengan seenaknya sendiri, itu berarti mereka telah mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya. Bagi orang yang telah berani mendurhakai Alloh, dan Rosul-Nya, apa sebagai konsekwensinya? Allohu Subhaanahu Wa Ta’alaa telah berfirman di dalam Al-Qur’an, Surat An-Nisaa’, No. Surat: 4, Ayat: 14, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan”.

Berikut ini contoh praktek Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam membai’at para sahabatnya, mungkin hadits-hadits yang seperti ini dapat mengingatkan kita pada kisah-kisah para sahabat, bagaimana mereka dalam menjalani Islamnya dengan kaafah. Di dalam Hadits Bukhori Juz 9 hal 99, dari Aisyah Rodhiyalloohu Anhaa berkata:
Yang artinya: “Adalah Nabi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam membai’at (mengambil janji setia) perempuan hanya dengan kata-kata (tidak dengan berjabatan tangan)”, tangan Rosuulillaahi Shollalloohu’ Alaihi Wasallam tidak menyentuh pada tangan perempuan kecuali perempuan miliknya”.

Di dalam Hadits Abu Daud Juz 4 diterangkan bahwa Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
Yang artinya : “Barang siapa yang berbai’at kepada seorang Imam terus dia memberikan genggaman tangannya (berjabatan tangan) dan buah hatinya (kesadaran sendiri) pada Imamnya itu, maka hendaknya dia ta’at kepada Imamnya itu sesuai dengan kemampuannnya”.

Dan tercantum dalam Hadits Muslim Juz 6 hal 22, bahwa Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
Yang artinya : “Dan barang siapa yang mati dilehernya tidak ada Bai’at (janji setia) maka dia mati Jahiliyah”.

Andaikan semua golongan Islam mau kembali mengaji pedoman aslinya umat Islam, yakni Al-Qur’an dan Al-Hadits Nabi secara “Kaaffah”, utuh dan menyeluruh pasti akan sama dengan yang dikerjakan oleh komunitas keagamaan di majlis ta'lim kita ini. Minimal memiliki ilmu pengetahuan agama yang sama, dan hasilnya adalah tidak akan memperolok-olokkan agama lagi, golongan lain yang dianggap berbeda, karena sudah mengetahui bahwa Alloh-lah yang memberi hidayah (petunjuk jalan/agama yang benar) dan Alloh pula yang menyesatkan orang yang dikehendaki-Nya. Oleh karenanya, patut kiranya kita sama-sama memahami terhadap firman Alloh Ta'alaa yang tercantum di dalam Al-Qur'an, Surat Al-Hujuurot, No. Surat: 49, Ayat: 11, yang berbunyi:
Yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum (sekumpulan) orang laki-laki mengolok-olok kaum (kumpulan) yang lain, boleh jadi yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan perempuan lainnya, boleh jadi yang diolok-olok itu lebih baik".

Kalau-lah sudah sama-sama mengaji Al-Qur’an dan Al-Hadits dan sudah mengetahui ilmu tentang aqidah meliputi; Qo’idah Ibadah seperti thoharoh (kesucian, kebersihan), sholat, zakat, shoum (puasa), haji. Qo’idah Mu’amalah seperti hukum niaga (perdagangan), hukum nikah (pernikahan), hukum warotsah (waris: pembagian harta pusaka) dan hukum pidana seperti hukum jinayah (publik), hukum khilafah (negara), hukum jihad (perang), dsb. Qo’idah akhlaq terhadap Alloh dan Qo’idah akhlak terhadap manusia seperti terhadap diri sendiri, tetangga, masyarakat. Qo’idah akhlaq terhadap selain manusia seperti flora, fauna, dsb. Semua itu berpulang kepada diri masing-masing tinggal mau mengerjakannya apa tidak, itu urusan masing-masing orang alias nafsi-nafsi”. Berdasar dalil haq firman Alloh dalam Al-Qur’an, Surat Fush-shilat, No. Surat : 41, Ayat : 46, yang berbunyi:
Yang artinya : “Barang siapa yang mengerjakan amal yang sholeh maka (fahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas (ditanggung oleh) dirinya sendiri”.

5. Dalil-dalil yang Menunjukkan Wajib Ta'at Alloh, Rosul, Amir.
5.1. Wajib Ta'at; ketho’atan yang sempurna, yaitu dengan mengikuti seluruh syari’at Islam ini tanpa meninggalkan sebagian yang lain, karena syari’at Islam ini adalah syari’at yang sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia di dunia ini.

Yang harus kita ta'ati ialah Alloh, Rosul, Amir, dan bagi seorang isteri ta'at kepada suami, bagi anak ta'at pada kedua orang tua, bagi warga Negara Indonesia ta'at pada pemerintah yang sah.

Ta'at pada Alloh Ta'alaa hukumnya mutlak, 100 %, tidak boleh dikurangi, tidak boleh ditawar, sudah harga mati. Karena, Alloh Ta'alaa Maha Kuasa, kalamnya pasti sempurna, hukum-Nya pasti benar dan pasti adil. Berdasarkan firman-Nya dalam Al-Qur'an, Surat Al-An'am, No. Surat: 6, Ayat: 115, yang berbunyi:
Yang artinya: "Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur'an) sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendenyar lagi Maha Mengetahui".

Adapun ta'at pada Alloh Ta'alaa adalah dengan cara; 1). Cerita-Nya harus dipercayai dan diyakini pasti benarnya. Cerita yang baik dan akibatnya juga baik hendaknya dijadikan contoh dan cerita yang akibatnya buruk jangan dicontoh. Cerita yang baik, seperti cerita dalam Al-Qur'an tentang kisah perjuangan para rosul, para nabi dan orang-orang yang sholih pada zaman dahulu kala hingga mereka mendapat pertolongan, pahala, surga dari Alloh Ta'alaa. Cerita yang buruk, seperti cerita dalam Al-Qur'an tentang Raja-raja kafir, orang-orang kafir, munafik, dhzolim, musyrik pada zaman dahulu kala hingga mereka diperangi, disiksa, dimasukkan ke dalam neraka oleh Alloh Ta'alaa. 2). Perintah-Nya dikerjakan dengan hati ridho, ikhlas dan diniati karena Alloh untuk mencari pahala, didasari karena iman. Seperti; perintah sholat, zakat, puasa, haji, berkata yang baik, berbuat baik, dll. 3). Larangan-Nya dijauhi sejauh-jauhnya, seperti; berzina, riba, judi, membunuh, syirik, dll.

5.2. Kalau Alloh sudah menetapkan ketetapan suatu perkara maka tidak ada pilihan lain
Dan ta'at pada Rosulullohi Shollallohu 'Alaihi Wasallam, juga mtlak, 100 % tidak boleh dikurangi, tidak boleh ditawar, sudah harga mati. Karena, Rosululloh adalah orang yang ma'sum, yaitu terjaga dari kesalahan. Sebab Rosululloh diberi wahyu Alloh dan dijaga Malaikat Jibril. Jika terjadi kesalahan pada diri Rosululloh Shollallohu 'Alaihi Wasallam maka Malaikat Jibril segera mengingatkannya, sehingga sabdanya pasti benar, dan ketetapan hukumnya pasti adil. Berdasarkan firman-Nya dalam Al-Qur'an, Surat Al-Ahzaab, No. Surat: 33, Ayat: 36, yang berbunyi:
Yang artinya: "Dan tidakl pantas bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula pantas) bagi perempuan yang mukmin, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata".

Adapun ta'at pada Rosululloh adalah dengan cara; 1). Cerita-Nya harus dipercayai dan diyakini pasti benarnya. Cerita yang baik dan akibatnya juga baik hendaknya dijadikan contoh dan cerita yang akibatnya buruk jangan dicontoh. Cerita yang baik, seperti cerita dalam Al-Hadits tentang kisah perjuangan para sahabat, tabi'in, tabi'ut-tabi'in hingga mereka mendapat pertolongan, pahala, surga dari Alloh Ta'alaa. Cerita yang buruk, seperti cerita dalam Al-Hadits tentang Raja-raja kafir, orang-orang kafir, munafik, dhzolim, musyrik pada zaman dahulu kala hingga mereka diperangi, disiksa, diqishos. 2). Perintah-Nya dikerjakan dengan hati ridho, ikhlas dan diniati karena Alloh untuk mencari pahala, didasari karena iman. Seperti; perintah berjihad fii sabiilillaah, hijroh, mensyiarkan salam, berbagi makanan, sholat sunnah Lail, saling mema'afkan, dll. 3). Larangan-Nya dijauhi sejauh-jauhnya, seperti; mencuri, menggunjing, mencela, menghujat, membalas keburukan dengan keburukan, dll. And, jangan lupa menghidup-hidupkan sunnahnya.

Adapun ta'at pada Ulil Amri atau Amir, kedua orang tua, dan suami serta pemerintah itu hukumnya tidak mutlak, masih ada reserve, pertimbangan yaitu selama perintahnya tidak maksiat, tidak menyekutukan Alloh Ta'alaa, tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Al-Hadits.

5. 3. Ta'at Kepada Alloh, Rosul, Ulil Amri
Sebagaimana dapat kita lihat firman Alloh Ta'alaa dalam Al-Qur'an, Surat An-Nisaa', No. Surat: 4, Ayat: 59, yang berbunyi:
Yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman ta'atilah Alloh dan Rosul serta Ulil Amri (Amir) dari (golongan) kamu sekalian".

5. 4. Ta'at Kepada Alloh, Rosul, Imam
Di dalam Hadits Shohih Bukhori, Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: “Dan wajib bagi kamu sekalian menta'ati Alloh, dan menta'ati Rosul-Nya, dan menta'ati Imam-Imam kamu sekalian".

5. 5. Ta'at Kepada Imam selama perintahnya tidak maksiat
Di dalam Hadits Riwayat Baihaqi, Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: “Taat kepada imam itu merupakan hak orang muslim selama Imam tidak memerintahkan menentang/mendurhakai Alloh, maka ketika Imam memerintahkan menentang/mendurhakai Alloh maka jangan mendengarkan dan taat kepadanya”.

5. 6. Tidak boleh ta'at dalam urusan maksiat
Didalam Hadits Shohih Muslim Juz 6 hal 15, Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: “Tidak ada taat dalam urusan menentang/mendurhakai Alloh, sesungguhnya taat itu dalam hal kebaikan”.

5. 7. Ta'at dalam keadaan apapun
Didalam Hadits Shohih Muslim, Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: "Wajib bagimu; mendengarkan dan ta'at dalam hal baik itu sulit, mudah, sedang semangat, sedang merasa enggan, pilih kasih terhadapmu".

5. 8. Tidak boleh ta'at kepada orang yang mendurhakai Alloh
Didalam Hadits Ibnu Majah, juz 2 hal 956, Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: "Jangan ta'at pada orang yang mendurhakai Alloh".

5. 9. Tidak boleh ta'at kepada orang yang tidak ta'at pada Alloh
Didalam Hadits Musnad Ahmad, Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: "Jangan ta'at pada orang yang tidak ta'at pada Alloh".

Tho’at, yaitu tunduk dan patuh sepenuhnya terhadap nash-nash syar’i. Tunduk dan patuh secara totalitas, baik secara lahiriyah, yaitu dengan mematuhi hukum-hukum beserta konsekuensinya maupun secara bathiniyah, yaitu dengan hati yang ikhlash karena Alloh penuh kerelaan dalam melaksanakan ketoatan tersebut. Dan ketho’atan bathin inilah yang membedakan antara orang iman sejati dan orang-orang munafik, walaupun secara dhzohir / lahiriyah di dunia ini mereka dihukumi sama. Sebagaimana firman Alloh dalam Al-Qur’an, Surat An-Nisaa’, No. Surat: 4, Ayat: 65, yang berbunyi:
Yang artinya: “Maka demi Tuhanmu (Muhammad), mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.

Sebagaimana firman Alloh dalam Al-qur’an, Surat Al-Ahzaab, No. Surat: 33, Ayat: 36, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”.

Sebaliknya, ketidak-tho’atan terhadap nash-nash syar’i akan menyebabkan perbuatan-perbuatan bid’ah, khurofat, syirik, ro’yi, yaitu paham-paham sesat dan berbagai macam kemaksiatan. Dan di antara yang menyebabkan hal itu terjadi, antara lain:
1. Karena tidak mengikuti para ulama’ salaf (sahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in) dalam menafsirkan Al-Qur’an dan cenderung mengikuti hawa nafsu dan ro’yi, yaitu akal pikiran manusia.

2. Mengambil sebagian nash dengan meninggalkan sebagian yang lain, seperti; nash-nash yang masih umum, padahal masih ada nash yang mengkhususkannya; mengambil dalil yang mutlaq dengan meninggalkan yang muqoyyad, padahal sebab dan hukumnya sama; mengambil dalil yang masih global dengan meninggalkan dalil yang sudah terperinci; beramal dengan nash yang sudah mansukh (dihapus / diganti hukumnya) dengan meninggalkan yang nasikh (nash yang menghafusnya / gantinya; beramal dengan nash yang masih mutasyabbih (yang masih banyak mengandung ta’wil) dengan meninggalkan nash yang sudah jelas hukumnya; atau menolak beberapa nash dan hukum dengan menggunakan kaidah-kaidah yang masih global.

Sehingga Kholifah Umar bin Khothob memberikan kesimpulan tegas dan berani tentang betapa fardhu dan wajibnya Islam, Jama'ah, Amir, dan Ta'at. Sebagaimana telah direkomendasikan dalam Hadits Daromi, yang berbunyi:
Yang artinya: “Bahwasannya tidak Islam kecuali jama’ah, dan tidak jama’ah kecuali berimam, tidak berimam kecuali dengan tho’at”.

Sungguh sangat disayangkan memang, hari gini masih saja ada orang yang mengaku-ngaku dirinya sebagai 'ulama (orang yang berilmu agama tinggi) akan tetapi tidak memahami hakikat dari keulamaannya. Misal, dengan mengomentari bahwa ungkapan di atas hanya merupakan kesimpulan dari seorang kholifah Umar bin Khotthob, bukan dari nabi jadi tidak kuat untuk dijadikan sebagai hujjah atau payung hukum!

Siapa bilang, kalau ungkapan di atas tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau dasar landasan hukum yang kuat bagi umat untuk dijadikan sebagai tolok ukur Islam yang benar adalah Islam yang berbentuk Jama'ah memiliki seorang Amir yang dita'ati.

Jaminan kebenaran kesimpulan dari kholifah Umar bin Khotthob itu telah mendapat syahadah "SERTIFIKAT" sebagai legitimasi, pengakuan langsung dari Rosulullohi Shollallohu 'Alaihi Wasallam, secara berturut-turut sebagai berikut:
1. Melalui sabdanya yang telah diriwayatkan oleh Uqbah bin 'Amir dalam Hadits Tirmidzi, yang berbunyi:
Yang artinya: "Seandainya sesudahku ada seorang nabi tentulah yang menjadi nabi adalah Umar bin Khotthob".

2. Sebagaimana juga telah diriwayatkan dalam Hadits Abu Daud, Juz 2 Hal 125, tentang sabda Nabi Shollallohu 'Alaihi Wasallam, yang berbunyi:
Yang artinya: "Alloh telah menjadikan Al-Haq (kebenaran) pada lisan Umar dan hatinya".

3. Dipertegas lagi oleh sabda Rosulullohi Shollallohu 'Alaihi Wasallam, yang telah diriwayatkan oleh Abi Dzar dalam Hadits Abu Daud, Juz 2 Hal 125, yang berbunyi:
Yang artinya: "Sesungguhnya Alloh Ta'alaa telah meletakkan Al-Haq (kebenaran) pada lisan Umar, ia berkata dengan benar".

Bayangkan, 'Ulama' macam apa yang berani menganggap remeh terhadap ucapan Umar bin Khotthob?! Lah, Alloh dan Rosul-Nya saja telah dengan tegas menyatakan kebenaran ada di lisan Umar bin Khotthob. Kalimat yang keluar dari lisan Umar bin Khotthob adalah kalimat yang mengandung hikmah, sedangkan Rosulullohi Shollallohu 'Alaihi Wasallam telah bersabda dalam Hadits Ibnu Majah, Juz 2 Hal 1395, yang berbunyi:
Yang artinya: "Kalimat hikmah adalah barang hilang milik orang iman di mana dia menjumpainya maka dialah yang berhak terhadap barang tersebut".

Termasuk bagian dari barang hilangnya orang iman adalah; jama'ah, amir, bai'at, dan ta'at sangat sulit untuk mendapatkannya, kalaupun ada sudah terkontaminasi oleh kepentingan pribadi, golongan, politik. Padahal orang Islam harus berjama'ah, orang Islam harus beramir, orang Islam harus berbai'at, orang Islam harus berta'at kepada Alloh, Rosul dan Amir. Sementara kita sebagai orang Islam merasa adem ayem meski belum pernah tahu apa itu jama'ah, apa itu amir, apa itu bai'at, apa itu ta'at dan bagaimana prakteknya. Nach…, dengan mengaji beginilah kita secara bertahap melalui proses transper belajar yang benar, insyaa Alloh kita akan mendapatkan kembali petunjuk yang benar dalam memahami istilah-istilah tersebut sesuai dengan penjelasan Rosululloh dan para kholifah. Di bawah nanti akan kami paparkan dengan sejelas-jelasnya.

Jangan sampai terjadi perselisihan di antara kita setelahnya datang keterangan dan pengetahuan ini, kalau kali ini Anda tidak dapat menerima pengetahuan ini, mungkin lain kali. Jangan seperti orang-orang ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) sesudah datang pengetahuan (yakni Nabi Muhammad dan Al-Qur'an) kepada mereka, bukannya mereka makin bertambah paham tapi malah berselisih. Oleh karenanya, jangan mencari ilmu agama hanya setengah-setengah dan setengah hati. Kalau nasi setengah masak tidak enak dimakan, hanya telur ayam kampung yang paling enak jika memakannya setengah matang, yang paling gawat kalau otak cuma setengah bisa bahaya. Begitu juga mengetahui dengan setengah-setengah tentang "Al-Jama'ah" (bentuk aslinya agama Islam), Anda tidak akan mendapatkan rohmat di dalamnya. Sebab masalah Al-Jama'ah ini telah dianggap perkara besar oleh Alloh dan Rosul-Nya. Karena, di dalamnya terdapat rohmat; keamiran, bai'at dan keta'atan. Yang kita maksud dengan Al-Jama'ah di sini adalah Al-Jama'ah yang ada di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits, bukan Al-Jama'ah seperti yang sering kita dengar pada golongan-golongan Islam tertentu. Ada yang mengklaim "Ahli Sunnah Wal Jama'ah", "Jama'ah Islamiyah", dan "Islam Jama'ah". Semua menisbatkan dirinya sebagai Al-Jama'ah, namun praktek ibadahnya telah banyak penyimpangan-penyimpangan. Maklum, karena mereka, kita hidup telah jauh dari zaman Rosululloh, sahabat, tabi'in, tabi'ut-tabi'in. Maka, cara yang arif dan bijaksana adalah dengan cara mari kita bersama-sama membuka dan mengaji kembali buku pedoman asli orang Islam, yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadits. Dengan demikian perdebatan golongan siapa yang paling benar tidak ada lagi, yang ada adalah kebenaran firman Alloh dan sabda Rosul-Nya. Sebagai realisasinya adalah menjalankan secara kaaffaah isi Al-Qur'an dan Al-Hadits.

Maka, sekali lagi harus betul-betul kita camkan, bahwa menetapi Al-Jama’ah dengan mengikuti jalan dan pemahaman sahabat Rosululloh, para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in sajalah yang diakui dan diterima oleh Alloh dan Rosululloh. Orang yang mengikuti pemahaman sahabat Rosululloh, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in berarti ia telah berada di atas Al-Jama’ah dan berada di atas jalan yang benar yang diridhoi Allohu Subhanahu Wa Ta’alaa.

Sedikitnya umat Islam hari ini yang mengikuti pemahaman sahabat Rosululloh, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in tidak boleh menciutkan atau mengecilkan hati dan menyurutkan semangat langkah untuk senantiasa istiqomah mengikuti jejak langkah para sahabat Rosululloh, para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in. Sebab Rosululloh menyatakan, memang kebanyakan manusia senantiasa lebih senang mengikuti kebathilan dan kesesatan ketimbang mengikuti jalan yang lurus dan benar. Dasarnya adalah firman Alloh dalam Al-Qur’an, Surat An-Nahl, No. Surat: 16, Ayat: 128, yang berbunyi:
Yang artinya: “Sesungguhnya Alloh beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat baik”.

Sifat dan historisitas agama tidak pernah dibatasi oleh ruang dan waktu. Sebab nilai-nilai yang dikandungnya berasal dari Alloh sendiri. Nilai-nilai universal seperti keadilan, cinta kasih dan perdamaian merupakan maksimum etis yang harus ditanggapi secara sempurna sehingga dapat membuka selubung fanatisme buta yang memakan banyak korban, banyak fasilitas ibadah rusak sia-sia. Masing-masing agama mempunyai tujuan sama yaitu mengajarkan kebaikan dan ingin masuk surga, selamat dari neraka harus menjadi ilham bagi semua kita untuk bisa menerima perbedaan sebagai sebuah kekayaan dalam keanekaragaman. Sebab perbedaan itu berasal dari Alloh juga. Dasarnya firman Alloh dalam Al-Qur’an, Surat Al-Lail, No. Surat: 92, Ayat: 4, yang berbunyi:
Yang artinya: “Sesungguhnya usaha kamu tentulah berbeda-beda”.

Seluruh umat beragama selalu berorientasi kepada Alloh sebagai jaminan hidupnya, hanya menyebut dan cara ibadah serta menyembah-Nya saja yang berbeda-cara. Masing-masing umat bertasbih (mensucikan diri) sudah punya caranya sendiri-sendiri. Di dalam Al-Qur’an Surat Ash-Shoff, No. Surat: 61 Ayat: 1, Alloh berfirman:
Yang artinya: “Telah bertasbih kepada Alloh apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi”.

Dan dapat juga kita perhatikan secara seksama firman Alloh yang tercantum di dalam Al-Qur’an, Surat An-Nahl, No. Surat: 16, Ayat: 49, berikut ini:
Yang artinya: “Dan apa saja yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi serta (para) malaikat sujud hanya kepada Alloh. Dan mereka (malaikat) tidak takabur (menyombongkan diri)”.

Di dalam Al-Qur’an Surat Al-Isro’/Bani Isro’il, No. Surat: 17, Ayat: 44, Alloh berfirman:
Yang artinya: “Langit yang tujuh, bumi dan orang (semua) yang ada di dalamnya bertasbih (mensucikan diri) kepada Alloh. Dan tidak ada sesuatupun kecuali bertasbih dengan memuji-Nya, akan tetapi kamu sekalian tidak faham / mengerti tasbih mereka”.

Perbedaan syari’at / peraturan dan tata cara beribadah serta jalan yang terang untuk menuju surga bagi masing-masing umat beragama itu telah direkomendasikan di dalam Al-Qur’an Surat Al-Maaidah, No. Surat: 5, Ayat: 48, Alloh berfirman:
Yang artinya: “Bagi tiap-tiap umat diantara kamu (umat Nabi Muhammad Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam dan umat-umat sebelumnya), telah Kami berikan syare’at (aturan) dan pekerjaan / jalan yang terang. Sekiranya Alloh menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Alloh hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan”.

Dari dalil-dalil di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Syari’at Islam merupakan syari’at yang sempurna dan lengkap, mencakup segala hal yang dibutuhkan dan bermanfa’at khususnya bagi kehidupan orang iman baik di dunia maupun di akhirot, juga bermanfa’at bagi manusia pada umumnya dan makhluk yang lain di dunia ini.

2. Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam telah menyampaikan risalah Islam ini dengan sempurna, sama sekali beliau tidak menyembunyikan sesuatupun dari risalah Islam ini.

3. Rosululloh tidak meninggalkan satu kebaikan pun kecuali telah memerintahkannya kepada ummatnya dan tidak meninggalkan satu keburukaan pun kecuali telah memberi peringatan agar mereka waspada.

Kesempurnaan syari’at Islam. Sebab, syari’at Islam menjadi satu-satunya aturan hidup bagi seluruh hamba sampai hari kiamat nanti, maka syari’at Islam merupakan sebuah syari’at yang sempurna mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Hanya setiap hamba Muhammad Shollallohu 'Alaihi Wasallam tidak diperkenankan memperolok-olok syari'at agama lain. Dalam Al-Qur’an Surat Al-An ‘am, No. Surat: 6, Ayat: 108, Alloh berfirman:
Yang artinya: “Dan janganlah kamu mencela sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Alloh, karena mereka nanti akan mencela Alloh dengan melampaui batas dengan tanpa ilmu (membabi buta). Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pada amalan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Alloh menceritakan kepada mereka terhadap apa yang pernah mereka amalkan”.

Pemahaman ini lahir dari pengalaman kongkrit, bergulat dalam ruang dan waktu dan ditanggapi serta diekspresikan melalui berbagai cara hasil pergumulan imannya akan realitas Absolut. Setiap anggota dari semua aliran agama dituntut untuk memberi isi akan iman dan kepercayaan serta keyakinannya sehingga menjadi iman yang hidup, memberi kebebasan beribadah menurut kepercayaan dan keyakinannya masing-masing, yang tidak terpolarisasi dalam ideologi yang sempit. Sebagaimana yang dimaksud dalam firman Alloh Ta'alaa yang tertuang dalam Kitab Suci Al-Qur'an, Surat Al-Hajj, No. Surat: 22, Ayat: 67, yang berbunyi:
Yang artinya: "Bagi tiap-tiap umat telah Kami buatkan syari'at (tuntunan ibadah) yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu (Muhammad) dalam urusan (syari'at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus".

Syari’at adalah kata penentu yang menentukan, bukan yang dihakimi. Maksudnya syari’at adalah yang menghukumi benar dan salahnya perkataan dan perbuatan manusia. Dan syari’atlah yang menghukumi mereka ketika terjadi perbedaan pendapat dan perselisihan, membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah. Masuk dalam hal ini adalah semua perselisihan yang muncul di antara sesama kaum muslimin sejak para sahabat sampai generasi sesudah mereka. Di antara bentuk penyelewengan dari prinsip ini adalah ta’ashub madzhab yang memenangkan perkataan ulama tertentu atas mengalahkan dalil-dalil syar’i dan sistem demokrasi yang menjadikan Pemerintah Penguasa yang menentukan nasib syari’at Alloh Ta’alaa melalui voting.

Kita bertasbih / beribadah dengan cara kita sendiri sesuai dengan ilmu agama yang telah kita ketahui. NU bertasbih / beribadah dengan caranya. Muhammadiyah bertasbih / beribadah dengan caranya. Ahmadiyah bertasbih / beribadah dengan caranya. Persis bertasbih / beribadah dengan caranya. Nasrani beribadah dengan caranya. Kristen Katolik bertasbih / beribadah dengan caranya. Kristen Protestan bertasbih / beribadah dengan caranya. Adven bertasbih / beribadah dengan caranya. Yahudi bertasbih / beribadah dengan caranya. Hindu bertasbih / beribadah dengan caranya. Budha bertasbih / beribadah dengan caranya, dan lain-lain. Kalau agama Islam ya sampai 73 macam bentuk tata cara bertasbih / beribadah yang berbeda. Yahudi sampai 71 atau 72 macam perbedaan dalam bentuk dan cara beribadah. Nasrani juga demikian. Tugas kita adalah memberikan informasi sebanyak-banyaknya tentang syari'at Islam yang benar, yang telah Alloh dan Rosululloh tetapkan dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits, tanpa harus memaksakan kehendak kepada orang lain. Alloh Ta'alaa berfirman di dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqoroh, No. Surat: 2, Ayat: 256, yang berbunyi:
Yang artinya: "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Maka barangsiapa yang ingkar kepada Thoghut [ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Alloh SWT] dan beriman kepada Alloh, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".

Pemahaman ini lahir, jika kita memahami bahwa firman Alloh ta'alaa dan sabda Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam itu adalah haq dan benar, maka semua perbedaan itu mari kita hormati karena semua itu merupakan bukti benarnya firman Alloh Ta'alaa dan sabda Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam. Yang terpenting adalah mari kita bersama-sama meningkatkan taqwa kita kepada Allohu Subhaanahu Wa Ta’alaa sambil terus berbagi ilmu yang kita punyai tanpa memungut uang imbalan sehingga setiap umat mendapatkan kesempatan menikmati agama Islam sebagai rohmatal lil'aalamiin. Taqwa dalam arti yang sebenar-benarnya, yakni dengan melaksanakan semua perintah-Nya serta menjauhi dengan sejauh-jauhnya segala bentuk larangan-Nya. Juga taqwa yang dapat menumbuhkan kesadaran untuk memelihara persatuan serta menjauhkan diri dari segala bentuk perpecahan sebagai realisasi cita kehendak dan pengakuan bahwa pada hakikatnya kedudukan manusia adalah sama di hadapan Allohu Subhaanahu Wa Ta’alaa. Yang membedakan di sisi Alloh kelak hanyalah takwa, tidaknya seseorang.

Tiada pembeda diantara hamba Alloh, tiadalah seseorang lebih mulia daripada yang lain, kecuali ketaqwaan mereka kepada Allohu Subhaanahu Wa Ta’alaa. Dasarnya adalah firman Alloh di dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujuroot No. Surat: 49, Ayat 13, yang berbunyi:
Yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu sekalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu sekalian di sisi Alloh ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu sekalian. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Waspada”.

Berdasarkan ayat di atas, jelaslah bahwa segala bangsa yang tersebar di seluruh permukaan bumi ini adalah dari keturunan yang sama, yakni Adam dan Hawa. Perbedaan warna kulit, bahasa dan tempat berpijak bukanlah halangan untuk saling mengenal menuju satu kesatuan dan persatuan serta kerukunan dan kekompakan. Kesatuan dan persatuan dalam cita, rasa dan karya untuk mewujudkan kemakmuran di bumi ini. Tegasnya kesatuan dan persatuan serta kerukunan dan kekompakan adalah sarana utama bagi perdamaian abadi. Tumbuh-kembangkan opini kasih sayang untuk bangsa membangun negara dan agama kita. Tumbuh-kembangkan spirit menuju kebersamaan berbangsa, bernegara dan beragama. Tomas (tokoh masyarakat), todat (tokoh adat) dan toga (tokoh agama) bersinergi; bersatu, solid, rukun, kompak, kerjasama yang baik, saling mengisi agar tidak mudah koyak dan rusak.

Dengan menyadari pengertian ini, maka nyatalah bahwa pertikaian dan perpecahan di antara kita tidak menguntungkan tapi hanyalah akan menjerumuskan kita kelembah kerusakan dan kehancuran, yang demikian itu dapat di sebut menyia-nyiakan amanat Allohu Subhaanahu Wa Ta’alaa. Bukankah di dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqoroh No. Surat: 2, Ayat: 213, Alloh telah berfirman:
Yang artinya: “Manusia adalah umat yang satu, maka Alloh mengutus para nabi sebagai pemberi khabar genbira dan pemberi peringatan dan Alloh menurunkan bersama mereka kitab dengan benar untuk menghukumi (memberi keputusan) di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan”.

Ayat di atas mengandung arti bahwasannya manusia di dunia ini hakekatnya adalah satu. Perbedaan tempat berpijaklah yang menyebabkan timbulnya adat istiadat yang berbeda pula. Perangai dan cara berpikir yang berbeda kadang bahkan sering menyebabkan benturan-benturan, pertikaian, dan perselisihan di antara mereka. Hal inilah yang merupakan salah satu sebab diangkatnya para utusan Alloh dengan membawa kitab Alloh. Nabi Daud dengan membawa Kitab Suci Zabur. Dasarnya adalah firman Alloh yang tercantum di dalam Al-Qur’an, Surat An-Nisaa’ No. Surat: 4, Ayat: 163, atau Surat al-Isroo’/Bani Isroo’il, No. Surat: 17, Ayat: 55, yang berbunyi:
Yang artinya: “...Dan Kami berikan Zabur kepada Daud”.

Nabi Musa dengan membawa Kitab Suci Taurot. Dasarnya adalah firman Alloh yang tercantum di dalam Al-Qur’an, Surat Al-Maaidah, No. Surat: 5, Ayat: 44, yang berbunyi:
Yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurot di dalamnya ada petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu Nabi-nabi yang menyerah kepada Alloh menghukumi (mengambil keputusan) perkara orang-orang Yahudi”.

Nabi Isa dengan membawa Kitab Suci Injil. Dasarnya adalah firman Alloh yang tercantum di dalam Al-Qur’an, Surat Al-Maaidah, No. Surat: 5, Ayat: 46, yang artinya:
Yang artinya: “Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi-nabi Bani Isrooil) dengan Isa bin Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu Taurot. Dan Kami telah memberikan kepadanya (Isa) Kitab Injil yang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi)...”.

Dan dipertegas hukumnya menurut firman Alloh yang tercantum di dalam Al-Qur’an, Surat Al-Maaidah, No. Surat: 5, Ayat: 47, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil menghukumi (memutuskan suatu perkara) sesuai dengan apa yang telah diturunkan Alloh di dalamnya. Dan barangsiapa yang tidak menghukumi (memutuskan suatu perkara) dengan apa yang telah Alloh turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”.

Jadi, masing-masing umat beragama hendaknya menghukumi umatnya dengan kitab sucinya masing-masing sesuai dengan yang telah Alloh turunkan. Di dalam Surat Al-Maaidah, No. Surat: 5, Ayat: 44, Alloh berfirman:
Yang artinya: “Dan barangsiapa yang tidak menghukumi (memutuskan suatu perkara) dengan apa yang telah Alloh turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang kafir”.

Di dalam Surat Al-Maaidah, No. Surat: 5, Ayat: 44, Alloh berfirman:
Yang artinya: “Dan barangsiapa yang tidak menghukumi (memutuskan suatu perkara) dengan apa yang telah Alloh turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhzolim/aniaya”.

Nabi Muhammad Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam merupakan utusan Alloh yang terakhir dengan membawa Kitab Suci Al-Qur’an yang harus dijadikan pedoman hidup dan beribadah bagi orang yang beragama Islam. Dasarnya adalah firman Alloh yang tercantum di dalam Al-Qur’an, Surat Al-Insaan, No. Surat: 76, Ayat: 23, yang artinya:
Yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan sungguh turun (berangsur-angsur)”.

Perhatikan dengan seksama firman Alloh di dalam Al-Qur’an Surat Al-Isroo’/Bani Isroo’il, No. Surat: 17, Ayat: 9, yang berbunyi:
Yang artinya: “Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus / benar”.

Pengalaman kehadirannya dalam beribadah kepada Alloh hendaknya terbawa dalam pengalaman kehadirannya dengan sesama sebagai makhluk ciptaan Alloh. Jika tidak maka satu Tuhan banyak nama, satu agama banyak berbeda cara beribadahnya hanya akan melahirkan kekerasan, konflik dan permusuhan yang terus menjadi latar kehidupan beragama. Padahal Al-Qur’an telah memberikan jawaban yang benar untuk semua yang diperselisihkan mereka itu. Dasarnya adalah firman Allooh di dalam Al-Qur’an, Surat An-Nahl, No. Surat: 16, Ayat: 64, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu (Muhammad) Kitab (Al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk serta rohmat bagi kaum yang beriman”.

Orang-orang yang senantiasa bersatu, rukun dan kompak di dalam agama Alloh serta menjauhkan diri dari perpecahan adalah benar-benar yang mendapat petunjuk dari Alloh. Berdasarkan firman Alloh di dalam Al-Qur’an, Surat Ali Imroon, No. Surat: 3, Ayat: 101, yang berbunyi:
Yang artinya: “Barang siapa yang berpegang teguh kepada agama Alloh maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk pada jalan yang lurus”.

Pola pikir lama yang bersifat keakuan hendaknya diganti menjadi pola pikir kekitaan. Rasa kekitaan akan menghasilkan sikap-sikap saling menghormati, menghargai dan memaknai universilitas keselamatan dan kemurahan Alloh bagi semua orang. Sikap dasar agama yang seperti ini dapat memberikan pencerahan bagi masing-masing anggotanya sehingga mereka dapat tumbuh menjadi pribadi yang otentik. Cantik wajahnya, cantik pula hatinya. Cakap parasnya, cakap pula ucap dan sikapnya. Santun tutur katanya, baik budi bahasanya. Perubahan pola pikir akan menghasilkan motivasi yang makin murni dimana membantu kita untuk memahami perilaku sendiri dan orang lain yang menunjukkan keunggulan kemanusiaannya.

Kebenaran teologis dan keutamaan-keutamaan keagamaan hendak direfleksi dan diinterpretasi secara kritis dan terus menerus sehingga orang tidak terjebak dalam pemahaman teologis yang sempit apalagi mempersempit kemahakuasaan dan kemurahan Alloh dan Rosuul-Nya. Dengan sikap itu maka tembok-tembok pemisah akan runtuh dan akan dibangun tembok sosial yang baru yang lebih mengedepankan nilai-nilai universal yang membebaskan untuk memilih agama mana, aliran mana, masjid mana yang akan digunakan untuk mendekatkan diri kepada Alloh sesuai dengan petunjuk Alloh. Dasarnya adalah firman Alloh dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl, No. Surat: 16, Ayat: 93, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dan kalau Alloh menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat saja, akan tetapi Alloh menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi hidayah (petunjuk) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan”.

Coba kita perhatikan baik-baik firman Alloh yang tercantum di dalam Al-Qur’an, Surat An-Nahl, No. surat: 16, Ayat: 125, berikut ini:
Yang artinya: “Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Timbul lagi satu pertanyaan “Mengapa Alloh menyesatkan di satu sisi dan memberi petunjuk disisi yang lain? Jawabnya adalah firman Alloh di dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl, No. Surat; 16, Ayat: 74, yang berbunyi:
Yang artinya: “Sesungguhnya Alloh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.

Mengapa Alloh menyesatkan manusia, berarti Alloh mendhzolimi manusia? Jawabnya adalah firman Alloh di dalam Al-Qur’an Surat Yuunus, No. Surat: 10, Ayat: 44, yang berbunyi:
Yang artinya: “Sesungguhnya Alloh tidak berbuat dhzolim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat dhzolim kepada diri mereka sendiri”.

Di dalam Al-Qur’an Surat Thoohaa, No. Surat: 20, Ayat: 123, Alloh berfirman:
Yang artinya: “Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku (yakni: Al-Qur’an), ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka”.

Di dalam Hadits Riwayat Malik bin Anas Fii Muwatho’. Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: “Telah aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitab Alloh (AL-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya (Al-Hadits)”.

Konflik dan situasi khaos terjadi karena orang memisahkan secara tegas iman akan Alloh di satu sisi dan profesi disisi yang lain. Iman bagi kita yang beragama Islam bukanlah iman hanya dalam masjid sebatas mengaji Al-Qur’an dan Al-Hadits, sholat wajib dan sunnah, marawisan, rebanaan, terbangan. Bagi yang beragama lain iman bukan hanya dalam rumah ibadat, membuka Al-Kitab, melakukan Misa, Natalan atau hanya pada saat merayakan hari-hari raya keagamaan kita saja. Tapi menjadi pelaku kebenaran dan cinta kasih merupakan suatu tuntutan mutlak, ditengah zaman yang mulai memproduksi manusia rasional-matematis yang amat memperhitungkan kalkulasi untung-rugi. Kita sebagai orang iman dituntut agar tetap menunjukkan integritas diri dan selalu mengibarkan bendera keimanan dan budi luhur kita sehingga mampu mewujudkan ketertiban sosial.

Sya'irulloh (tanda-tanda kebesaran Alloh) yang harus dita’dhzimi / diagungkan tidak hanya meliputi masjid, Al-Qur’an, Al-Hadits, ulama’ saja. Tapi meliputi seluruh apa yang telah Alloh cantumkan di dalam Al-Qur’an lengkap dengan bukti-bukti kebenarannya. Dengan konsep ini membantu setiap pribadi untuk melakukan sebanyak mungkin tindakan cinta kasih dan dapat menghindari kejahatan.

Agama perlu merangsang setiap pribadi untuk meningkatkan kesadaran spiritual yang ditopang oleh kesadaran ratio intlektual yang tajam, agar dapat memberikan pemahaman yang besar, yang pada akhirnya membantunya untuk tahu kemana ia harus melangkah dan di mana harus berhenti. Disini, orang iman diharapkan mampu terus melestarikan nilai-nilai budi luhur, luhuring budi karena Alloh sambil menghargai apa yang telah ditemukan ataupun diperjuangkan oleh orang lain. Ini, menuntut suatu refleksi kritis dan pemahaman spiritual yang murni agar kita tidak terjebak dalam kesempitan teologis yang mengklaim agama kita yang paling benar agama orang lain salah, kita pasti masuk surga orang lain pasti masuk neraka. Padahal hanya Alloh yang dapat memasukkan orang yang taat kepada Alloh dan kepada Rosuul-Nya kedalam surga dan memasukkan orang yang mendurhakai menentang kepada Alloh dan Rosuul-Nya serta melanggar batas-batas ketentuan hukum-Nya ke dalam neraka. Dasarnya adalah firman Alloh dalam Al-Qur’an Surat An-Nisaa’, No. Surat: 4, Ayat: 13-14, berikut ini:
Yang artinya: “Dan barangsiapa ta’at kepada Alloh dan Rosuul-Nya, niscaya Alloh memasukkannya kedalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai dan mereka (hidup) kekal di dalamnya, dan itulah keberuntungan•yang besar”. (Q.S. An-Nisa’, No. Surat: 4, Ayat: 13).

Yang artinya: “Dan barang siapa yang menentang kepada Alloh dan Rosuul-Nya dan melanggar batas-batas/ketentuan-Nya maka Alloh memasukkannya ke dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia mendapat siksa yang menghinakan”. (Q.S. An-Nisa’, No. Surat: 4, Ayat: 14).

Keanekaragaman dalam beribadah bagi masing-masing umat beragama, aliran merupakan kekayaan Ke Maha Kuasaan Alloh yang harus dihormati, dipahami dan dimengerti sebagai kemahakuasaan karya Alloh Subhaanahu Wa Ta’alaa. Dasarnya adalah firman Alloh dalam Al-Qur’an Surat Al-Hajj, No. Surat: 22, Ayat: 32, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dan barang siapa yang mengagungkan tanda-tanda kebesaran Alloh, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”.

Firman Alloh tersebut hendaknya menjadi perekat kemanusiaan sehingga kita orang-orang yang beriman mampu mewujudkan surga dunia yang sungguh nyaman, aman menjadikan negara Indonesia ini sebuah negara yang subur, makmur, berketuhanan Yang Maha Pengampun “Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofuur”, tanpa ada tendensi spiritual untuk menguasai ataupun memaksa orang lain hanya karena sebuah kehormatan murahan. Ingatlah firman Alloh dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqoroh, No. Surat: 2, Ayat: 256, yang berbunyi:
Yang artinya: “Tidak ada paksaan di dalam agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat”.

Di dalam Al-Qur’an Surat Al-Kaafiruun, No. Surat: 109, Ayat: 6, Alloh berfirman:
Yang artinya: “Untukmu agamamu dan untukku agamaku”.

Di dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syuuro, No. Surat: 42, Ayat: 15, Alloh berfirman:
Yang artinya: “Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Alloh mengumpulkan antara kita dan kepada-Nya akan kembali”.

Mari kita berjuang agar keributan teologis akan siapa yang paling benar dan paling baik serta paling suci tidak lagi menjadi isu-isu konflik yang pada akhirnya menelanjangkan diri kita sebagai orang yang ber-Iman, ber-Agama, dan ber-Tuhan Alloh. Gunakan cara yang arif, santun, bijaksana, beretika bila akan berdakwah ammar ma’ruuf dan nahi munkar sehingga patut menjadi contoh yang baik, layak untuk diikuti dan berasa kemashlahatan dan kemanfa’atannya bagi banyak umat manusia. Berikan kesempatan kepada orang yang sedang kita dakwahi untuk memilih dan menentukan sendiri agama serta golongan mana yang akan dianut sesuai keyakinan dan kepercayaan hati nuraninya dengan mengikuti petunjuk Alloh. Dasarnya adalah firman Alloh dalam Al-Qur’an Surat Al-Furqoon, No. Surat: 25, Ayat: 31, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk dan penolong”.

Di dalam Al-Qur’an Surat Al-Qoshosh, No. Surat: 28, Ayat: 56, Alloh berfirman:
Yang artinya: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu senangi / cintai / kasihi, tetapi Alloh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan Alloh lebih mengetahui terhadap orang-orang yang mau menerima petunjuk”.

Di dalam Al-Qur’an, Surat Asy-Syuuroo, No. Surat: 42, Ayat: 13, Alloh berfirman:
Yang artinya: “Tegakkanlah agama dan janganlah kamu pecah belah dalam urusannya. Amat berat bagi orang-orang musyrik apa (agama) yang kamu serukan kepada mereka terhadapnya. Alloh yang menarik pada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (bertaubat kepada-Nya)”.

Oleh karena itu ketika kita tengah berdakwah, kita dituntut agar bisa menyampaikan informasi tentang Islam yang baik dan benar sebanyak-banyaknya, yang mempunyai kekuatan dasar urgensi, argument serta referensi yang benar dan akurat dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga apa yang kita sampaikan itu akan menjadi sebuah tawaran dan pilihan yang memang layak, pantas diterima oleh siapapun orang yang kita dakwahi. Mereka mau menerima ajakan kita itu, karena telah merasakan kemashlahatan dan kemanfa’atannya. Jadi, kehadiran kita itu, sangat berarti dan bermakna bagi mereka. Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda dalam hadits Al-Qudhoo’i, yang berbunyi:
Yang artinya: “Manusia yang paling baik adalah mereka yang paling banyak memberi manfa’at bagi manusia”.

Di dalam Hadits Tirmidzi Juz 8 Hal 111, dari Abdillah bin Amr, berkata: “Rosuululloohi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: “Orang-orang yang mengasih sayangi (terhadap semua makhluk), maka Alloh Yang Maha Pengasih akan mengasih sayangi mereka. Oleh karena itu mengasih sayangilah kamu sekalian pada orang yang ada di permukaan bumi ini, maka orang yang ada di dalam langit akan mengasih sayangi kamu sekalian”.

Dari dalil-dalil keseluruhan di atas, dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut;
1. Syari’at Islam adalah merupakan syari’at yang sempurna dan lengkap, mencakup segala hal yang dibutuhkan dan bermanfa’at bagi kehidupan manusia, hewan, tumbuhan dsb. Dan terutama bagi orang iman sangat bermanfa’at baik di dunia maupun di akherat.

2. Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam telah menyampaikan risalah agama Islam ini dengan sempurna, sama sekali beliau tidak menyembunyikan sesuatu pun.

3. Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam telah memerintahkan kepada ummatnya meski hanya terhadap satu kebaikan, dan beliau pun telah memberikan peringatan tegas kepada ummatnya agar mereka waspada dan meninggalkan keburukan meski hanya terhadap satu keburukan.

4. Syari’at agama Islam ini telah sempurna, artinya tidak memerlukan tambahan dan pengurangan lagi. Oleh karenanya, semua bid’ah ditolak oleh Alloh dan Rosululloh; baik bid’ah yang baru maupun bid’ah yang lama.

5. Syari’at agama Islam telah sempuran dan Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam telah menyampaikan syari’at yang semurna itu secara sempurna pula. Artinya, dalam agama Islam ini tidak terdapat ilmu bathin yang menyelisihi dhzohir, atau hakikat yang menyelisihi syari’at. Maka berbagai kelompok yang menganut faham ilmu bathin dan hakikat ini (seperti sufi, thoriqot, bathiniyah, syi’ah) adalah faham bathil, sesat dan menyesatkan.

6. Kesempurnaan syari’at agama Islam ini juga bermakna terbebasnya syari’at Islam dari kontradiksi antara satu dalil dengan dalil yang lainnya.

6) Sempurnanya syari’at agama Islam ini berarti tidak ada suatu masalah pun yang tidak diatur oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits. Al-Qur’an dan Al-Hadits telah memuat hukum-hukum baik yang berupa larangan, perintah maupun hal-hal yang bersifat mubah, baik secara global maupun terperinci. Keterbatasan akal manusia saja yang sering menyebabkan mereka tidak mengetahui hukum masalah-masalah tertentu dalam urusan agama Islam.

7) Sempurnanya syari’at agama Islam ini tidak butuh kepada aturan-aturan agama sebelumnya yang telah dihapus dan kadaluarsa, dan juga tidak butuh kepada hukum positif dan aturan buatan manusia yang berkaitan dengan soal keagamaan.

Oleh karena itu, tidak boleh mengganti hukum Islam dengan hukum positif, tidak boleh pula mencampur adukkan hukum Alloh dengan hukum positif, seperti orang-orang yang berfaham sosialisme Islam, demokrasi Islam, skularisme Islam, pluralisme Islam, sinkretisme Islam dan liberalisme Islam, dll. Islam adalah Diinul Haq, agama yang sempurna, yang tertinggi, yang sudah diakui dan diridhoi Alloh, yang tidak bisa dilampaui oleh agama lain atau dicampur aduk dengan agama yang bathal. Sebagaimana firaman Alloh Ta’alaa di dalam Al-Qur’an, Surat Al-Maaidah, No. Surat: 5, Ayat: 3, yang berbunyi:
Yang artinya: “Pada hari ini (tgl 9 Dzul Hijjah di Arofah) Aku telah menyempurnakan untuk kamu sekalian agama kamu sekalian dan Aku pun telah mencukupkan nikmat-Ku kepada kamu sekalian, dan Aku telah meridhoi Islam itu menjadi agama bagi kamu sekalian”.

Maka, hendaklah setiap umat Islam memahami kemampuannya. Hendaklah setiap umat Islam menyadari Islam bagaimana yang seharusnya kita pahami dan praktekkan. Janganlah kita memahami Islam secara serampangan menurut keterbatasan ilmu kita masing-masing, dengan meninggalkan pemahaman manhaj salafush sholih, yaitu para sahabat nabi, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in, karena itu semua merupakan penyebab kesesatan dan awal dari kehancuran umat Islam.

Supaya dakwah kita bisa lancar dan dapat diterima oleh orang yang kita dakwahi maka dalam berdakwah perlu cara-cara yang santun, menarik, simpatik, imformatif, arif dan bijaksana. Luwes tidak apes, tegas tidak keras, mantap dan meyakinkan.

Dan buku ini memberikan informasi pendukung tentang hal itu. Selain itu, buku ini penting dibaca oleh setiap muslim yang sangat interest terhadap dakwah. Para calon da’i dan da’iyah bisa memetik banyak pelajaran dan pengetahuan dari buku ini, untuk menambah wawasan.

Pesan Terakhir Penulis: Kondisikan diri kita:
Menjadi individu yang baik
Menjadi anggota keluarga yang baik
Menjadi anggota masyarakat yang baik
Menjadi warga negara yang baik
Menjadi hamba Alloh yang baik

[Subandi Baiturrahman]
Share :

Komentar Facebook:

0 Komentar Blog: