Benarkah Warga LDII Tidak Merayakan / Memperingati Maulid (Kelahiran) Nabi Muhammad Shollalloohu Alaihi Wasallam?

0
Pendidikan anak usia dini, hindarkan dari amalan TBC

Begini, untuk memberikan kepahaman yang optimal, setiap kali mendengar bahwa pada umumnya kaum muslimin memperingati Maulid, sudah seharusnya kita tidak melepaskan diri dari landasan hukum pokok yang terdapat di dalam Kitab suci Al-Qur’an, seperti yang tercantum dalam Al-Qur’an, Surat Al-Isro’/Bani Isro’il, No. Surat: 17, Ayat: 36, yang berbunyi:
Yang artinya: “Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.

Ayat di atas memperingatkan kepada kita dengan jelas, bahwa segala sepak terjang kita harus kita perhitungkan untuk dapat dipertanggung jawabkan, janganlah kita meniru atau ikut-ikutan tanpa tahu, bertingkah hanya sekedar latah, untuk menyambut / merayakan / memperingati Maulid, dianggap ibadah dan berfahala tanpa pernah tahu dasar hukumnya. Dan perlu kita ingat bahwa Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam lahir dan hidup di tengah keluarga jahiliyyah, di alam kemusyrikan, bahkan tidak seorang pun yang tahu bahwa yang lahir itu seorang Nabi. Jadi sangat mustahil pada waktu itu diperingati kelahirannya. Apa lagi setelah beliau menjadi Nabi dan Rosul, sama sekali beliau tidak pernah memerintahkan agar kelahirannya dirayakan / peringati. Adapun hari besar yang pernah beliau peringati adalah perayaan ‘Idul Fitri, ‘Idul Adha dan hari Jum’at.
1. Berdasarkan Hadits Bukhori, yang diriwayatkan oleh Abdillah bin Umar, yang berbunyi:
Yang artinya: “Sesungguhnya Rosulallohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam sholat ‘Iedul Adha dan Fitri kemudian sesudah sholat beliau berkhuthbah”.

2. Berdasarkan sabda Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam di dalam Hadits Ibnu Majah, yang diriwayatkan oleh Ibni Abbas, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dua hari raya kumpul di dalam hari kamu ini (hari raya yang bersamaan dengan hari Jum’at), barangsiapa yang menghendaki sholat ‘Ied, maka ia sudah mencakup dari sholat Jum’at (mak: boleh hanya mengerjakan sholat ‘Ied saja). Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengerjakan sholat Jum’at (mak: sekalipun pagi harinya sudah mengerjakan sholat ‘Ied, pada siang harinya masih mengerjakan sholat Jum’at), Insyaa Alloh”.

Sedang perayaan/peringatan Maulid Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam itu hanya merupakan tradisi (kebiasaan) sejak berabad-abad yang lalu di sebagian dunia Islam, bukan seluruh ummat Islam. Yang perlu kita pahami bahwa Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam itu adalah seorang Nabi dan Rosul yang membawa agama Islam yang haq, yang benar, yang patut kita jadikan suri tauladan, karena agama Islam yang diberikan Alloh kepadanya sudah sempurna. Yang terpenting adalah bagaimana kita ini dapat mencocokkan seluruh aktivitas ibadah kita ini sesuai dengan petunjuk beliau, yaitu tetap menetapi memerlukan dan mempersungguh mengaji Al-Qur’an dan Al-Hadits, mengamalkan Al-Qur’an dan Al-Hadits, membela Al-Qur’an dan Al-Hadits, sambung berjama’ah secara Al-Qur’an dan Al-Hadits, Tho’at kepada Alloh dan Rosul. Dikerjakan dengan niat hati karena Alloh sampai tutug pol ajal mati kita masing-masing. Sesuai dengan firman Alloh dalam Al-Qur’an, Surat Al-Hasyr, No. Surat: 59, Ayat: 7, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dan apa-apa yang diberikan Rosul kepadamu maka terimalah itu, dan apa-apa yang kamu dilarangnya maka tinggalkanlah itu”.

Dapat juga dilihat firman Alloh dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron, No. Surat: 3, Ayat: 31, yang berbunyi:
Yang artinya: “Katakanlah (Muhammad): “Jika kamu (benar-benar) mencintai Alloh, maka ikutilah aku, niscaya Alloh mencintai kalian, dan Alloh mengampuni dosa-dosa kalian”.

Perhatikan sabda Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam berikut ini, dalam Hadits Sunan Nasa’i Juz 5, yang berbunyi:
Yang artinya: “Sesungguhnya rusaknya orang dulu sebelum kamu sebab banyaknya pertanyaan mereka (banyak bertanya tapi tidak dikerjakan), dan mereka menyelisihi nabi-nabi mereka (apa yang mereka kerjakan tidak seperti apa yang diajarkan dan diperintahkan oleh nabi mereka)”.

Masih banyak sunnah Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam yang jelas dan ada dalilnya dan merupakan ibadah yang ada fahalanya belum kita kerjakan. Kerjakan saja yang sudah jelas ada haditsnya, sebab itu akan lebih menjadikan tenangnya hati, dan mantapnya sebuah keyakinan. Disitulah letak pentingnya memiliki ilmu pengetahuan agama. Oleh karena itu, di dalam Hadits Riwayat Ad-Dailami, Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: “Di sisi Alloh, menuntut ilmu lebih utama ketimbang sholat, puasa dan haji serta jihad/berjuang di jalan Alloh”.

Dengan demikian, sebelum kita tahu atau sebelum kita memiliki ilmu tentang memperingati Maulid Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dengan baik dan benar, maka janganlah sekali-kali kita menganggap bahwa memperingati “Maulid Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam” itu merupakan suatu ketentuan/keharusan yang bersifat ibadah dan ada pahalanya, bahkan sunnah. “Naudzu Billaahi Min Dzaalika”. Bila memang demikian adanya, maka perayaan atau peringatan kelahiran Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam tidak boleh, karena hal itu merupakan perkara baru, bid’ah yang diada-adakan dalam agama Islam. Dasarnya, adalah sabda Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam yang tercantum di dalam Hadits Ibnu Majah Juz 1 hal 76, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dan barangsiapa yang membuat bid’ah satu bid’ahan saja, lalu bid’ah tersebut diamalkan oleh orang lain, maka ia memperoleh bagian dosanya orang yang mengamalkan itu tanpa mengurangi sedikitpun dari dosanya orang yang mengamalkan bid’ah tersebut”.

Beberapa hadits yang berkualitas shohih dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam telah memperingatkan ummat Islam dari berbuat Bid’ah disertai dengan penjelasan beliau bahwa bid’ah itu adalah suatu bentuk dari kesesatan, dan betapa besar bahayanya. Di antara hadits-hadits tersebut, adalah:
1. Berdasarkan pada sabda Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dalam Hadits Shohih Bukhori, yang berbunyi:
Yang artinya: “Barangsiapa mengamalkan pada suatu amalan yang tidak ada (dasar) perkara (ajaran) kami atasnya, maka amalan tersebut ditolak”.

2. Berdasarkan pada sabda Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dalam Hadits Riwayat Ibnu Majah Juz 1 hal 19, yang berbunyi:
Yang artinya: “Alloh tidak mau menerima amalan orang yang mengerjakan bid’ah sehingga dia meninggalkan bid’ahnya”.

3. Berdasarkan pada sabda Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dalam Hadits Nasa’i, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan adalah (masuk) di dalam neraka”.

Maka dari itu beliau berpesan kepada kita melalui sabda beliau yang telah dimuat di dalam Hadits Musnad Ahmad, Sunan Ad-Darimi, Sunan Abi Daud, Sunan Ibnu Majah dan Shohih Muslim, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dan takutlah kamu sekalian (hindarilah) memperbaharui (mengada-adakan) beberapa perkara, karena setiap Muhdatsun (perkara baru) adalah bid’ah (tambahan), dan setiap bid’ah adalah sesat”.

Sabda Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dalam Hadits Ibnu Majah Juz 1 hal 17, yang berbunyi:
Yang artinya: “Maka sesungguhnya sebagus-bagusnya perkara yaitu Kitab Alloh (Al-Qur’an). Dan sebagus-bagusnya prilaku / petunjuk adalah prilaku / petunjuk Muhammad (Al-Hadits). Dan seburuk-buruknya perkara adalah perkara baru / bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat”.

Di dalam Hadits Ibnu Majah Juz 1 hal 19, Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: “Alloh tidak menerima kepada Shohibi Bid’ah (orang yang mengerjakan bid’ah); puasa, sholat, shodaqoh, haji, umroh, jihad, ibadah sunnah dan ibdah wajibnya, ia keluar dari Islam seperti halnya rambut keluar dari adonan roti”.

Tanpa ada keraguan lagi, hal tersebut jika diperintahkan atau diikuti dan dikerjakan sangat besar bahayanya, karena hal tersebut seolah mengindikasikan berpaling dari syari’at Alloh dan juga berpaling dari ajaran Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam serta tidak sesuai dengan manhaj salafush sholih (generasi utama; sahabat, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in). Padahal Alloh Subhaanahu Wa Ta’alaa telah menyempurnakan agama Islam ini untuk kita sebagai hamba-Nya dan telah mencukupkan nikmat-Nya kepada kita. Alloh Subhaanahu Wa Ta’alaa telah berfirman di dalam Al-Qur’an, Surat Al-Maaidah, No. Surat: 5, Ayat: 3, yang berbunyi:
Yang artinya: “Pada hari ini (tgl 9 Dzul Hijjah di Arofah) Aku telah menyempurnakan untuk kamu sekalian agama kamu sekalian dan Aku pun telah mencukupkan nikmat-Ku kepada kamu sekalian, dan Aku telah meridhoi Islam itu menjadi agama bagi kamu sekalian”.

Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam pun telah menyampaikan risalah Islam dengan jelas hingga tidak tertinggal celah sedikit pun jalan yang lurus menuju surga dan jalan untuk menjauhi neraka kecuali telah beliau sampaikan dengan gamblang kepada seluruh ummatnya, bahkan seluruh ummat manusia melalui keterangan-keterangan beliau yang tercantum di dalam hadits-hadits yang telah ditulis oleh para sahabatnya. Sebagaimana yang tercantum di dalam Hadits Muslim dari Abdulloh bin Umar Rodhiyallohu Anhu, ia berkata: Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, bersabda:
Yang artinya: “Alloh tidak mengutus Nabi, kecuali kewajiban Nabi itu adalah menunjukkan pada ummatnya atas kebaikan yang ia ketahui, dan menakut-nakuti (memperingatkan) pada mereka dari sesuatu keburukan yang ia ketahui”.

Itu artinya, bahwa segala bentuk dan macam ibadah dalam agama Islam ini sudah sempurna. Tugas seorang Nabi adalah mengajarkan kebaikan dan mengingatkan tentang keburukan kepada ummatnya. Oleh karena itu kita sebagai ummatnya bertanggung jawab untuk menjaga kemurnian agama Islam ini, dengan tidak mengada-adakan kegiatan keagamaan selain yang telah disyari’atkan oleh Alloh dan yang telah dicontohkan oleh Rosulullohi Shollallohu Alaihi Wasallam, serta yang telah diikuti oleh para sahabat, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in.
Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam sendiri tidak melakukan maupun menyuruh hal tersebut, para khulafaur-rosyidin dan para sahabat, para tabi’in dan para tabi’ut-tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik pun tidak melakukannya. Padahal, mereka ini adalah orang-orang yang lebih tahu dan lebih mengerti mengenai sunnah. Cinta kepada Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam lebih sempurna dan mereka lebih mengikuti syari’at yang beliau bawa dari pada orang-orang setelah mereka.
Berbeda dengan ulama muta’akhirin yang membolehkan merayakan atau memperingati maulid Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dengan syarat tidak mengandung kemungkaran; seperti berlebih-lebihan dalam menyanjung Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, kaum laki-laki tidak bercampur dengan wanita, tidak menggunakan alat-alat musik dan segala macam yang dilarang syara’. Terpampang spanduk-spanduk besar yang bertuliskan “Hadirilah, Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW !”, Penceramah: Al-Habib. Munzir bin Fu’ad Al-Musawa, pimp Majlis Rosululloh.
Tidak boleh berlebih-lebihan dalam menyanjung Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, kaum laki-laki tidak bercampur dengan wanita, tidak menggunakan alat-alat musik dan segala macam yang dilarang syara’ di dalam masjid, di dalam acara itu bisa saling bershilatur-rohim antara ulama’ dan umaro’, bisa menyantuni anak yatim dan fakir dan miskin. Ini, semua adalah benar. Akan tetapi, jangan lupa bahwa memperingati atau merayakan maulid Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallamnya itu yang tidak benar, karena hal tersebut merupakan perkara baru yang tidak pernah di ajarkan oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, sahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in. Itu berarti merupakan suatu upaya mencampur-adukkan antara yang haq dan yang bathil. Padahal Allohu Subhanahu Wa Ta’alaa telah melarang kita dari yang demikian. Alloh berfirman di dalam Al-Qur’an, Surat Al-Baqoroh, No. Surat: 2, Ayat: 42, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dan janganlah kamu mencampur-adukkan yang haq dan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu mengetahuinya”.

Penetapan baik dan buruk, bid’ah dholaalah dan bid’ah hasanah oleh akal pikiran manusia. Disebabkan karena akal manusia bertingkat-tingkat dan terbatas kemampuannya, dan ditambah dengan kurangnya ilmu pengetahuan tentang Al-Qur’an dan Al-Hadits. Oleh karena itu hendaknya seorang muslim, apalagi dia sebagai ulama tidak mendahulukan akal pikirannya daripada wahyu yang diturunkan Alloh Subhaanahu Wa Ta’alaa kepada Rosul-Nya. Dan hendaknya dia membedakan dengan betul-betul mana hujjah-hujjah syar’i yang kita diperintahkan untuk beramal dengannya dan mana yang bukan hujjah syar’i yang tidak boleh dijadikan landasan dalam berkata maupun beramal.
Ulama’ muta’akhirin, kontemporer terkadang menyisipkan kata “Al-Habib” didepan namanya, biar terkesan dia adalah dari keluarga Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, biar orang mengira bahwa dia tahu persis tentang prilaku Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, dan mengira bahwa merayakan atau memperingati maulid (kelahiran) Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam ini termasuk bagian bid’ah hasanah (bid’ah yang baik). Padahal semua bid’ah adalah dholaalah, kesesatan kecuali sholat Tarawih dengan berjama’ah. Bid’ah dengan segala macam bentuknya adalah harom, baik bid’ah yang menyebabkan pelakunya fasik maupun yang menyebabkan pelakunya murtad. Segala hal yang bertentangan dengan syari’at Islam adalah bathil dan ditolak. Prinsip ini kembali kepada prinsip yang sebelumnya, yaitu mengembalikan urusan dalam perselisihan, hal yang masih diperdebatkan kepada Alloh dan Rosul-Nya.
Mengembalikan segala persoalan agama kepada Alloh dan Rosul-Nya (Al-Qur’an dan Al-Hadits). Prinsip ini merupakan konsekuansi bagi seorang mu’min yang sudah mengaku tunduk dan pasrah kepada Alloh dan Rosululloh. Setiap kali mendapati persoalan dalam suatu hal, maka wajib dikembalikan kepada Alloh dan Rosul-Nya. Karena, sesuatu yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka itulah kebenaran yang harus kita terima dan kita amalkan. Dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya, maka kita tolak. Sebagaimana Allohu Subhaanahu Wa Ta’alaa berfirman didalam Al-Qur’an, Surat: An-Nisaa’, No. Surat: 4, Ayat: 59, yang berbunyi:

Yang artinya: Maka jika kamu berselisih paham / berlainan pendapat kembalikanlah ia kepada Alloh (lihat Al-Qur’an) dan Rosul-Nya (lihat Sunnah), jika kamu benar-benar beriman dengan Alloh dan hari akhir”.

Di dalam Hadits Riwayat Malik bin Anas Fii Muwatho’. Rosululloh Shollallohu Alaihi Wasallam bersabda:
Yang artinya: “Telah aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitab Alloh (AL-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya Shollallohu ‘Alaihi Wasallam (Al-Hadits)”.

Kalau kita sebagai ummat Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam ini mau berpikir sehat dan jernih, tentu kita tidak perlu repot-repot lagi untuk membuat perkara baru yang pada akhirnya justeru malah masuk pada masalah yang bersifat mengada-adakan, dan timbul bid’ah itu. Wal hasil kita sendiri sesat dan menyesatkan orang lain. Padahal dengan mengamalkan apa yang ada di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits saja sudah cukup menjamin kepada kita untuk masuk surga Alloh dan selamat dari neraka Alloh. Itu kan, sebenarnya yang menjadi tujuan pokok kita beribadah di dalam agama Islam ini?
Terkadang orang kurang memahami tarikh atau sejarah. Mereka menganggap yang terjadi dalam bulan Robi’ul Awwal hanyalah kelahiran Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam saja. Padahal pada bulan itu juga, beliau hijroh ke Madinah, tepatnya hari Jum’at, 12 Robi’ul Awwal 1 H. Beliau tiba di Quba’ pada hari Senin, 8 Robi’ul Awwal, dan beliau wafat pada tanggal 12 Robi’ul Awwal, tahun 11 Hijriyah, 632 M.
Tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW bermula pada masa pemerintahan Bani Taimiyah, kemudian dilanjuti pada masa pemerintahan Kholifah Bani Abbas oleh penguasa Al Haromain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) Sultan Salahuddin Al Ayyubi (Soultan Salahudin). Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub, setingkat Gubernur dengan pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia.
Perintah merayakan Maulid ini disampaikan pertama kali pada musim Haji 579 H (1183 Masehi). Sebagai penguasa dua tanah suci kala itu, atas persetujuan Khalifah Bani Abbas di Baghdad, Sultan mengimbau agar seluruh jamaah haji seluruh dunia jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera mensosialisasikan kepada masyarakat Islam dimana saja berada. Maksud Sultan Salahuddin merayakan tradisi ini selain bentuk cintanya pada Rosul juga sebagai cara membangkitkan semangat juang umat Islam yang kala itu kehilangan semangat juang dan persaudaraan ukhuwah ketika terjadi perang salib. Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.
Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi.
Penyair Ahmad Syauqi menggambarkan kelahiran Nabi Mulia itu dalam syairnya yang indah: “Telah dilahirkan seorang Nabi, alam pun bercahaya, sang waktu pun tersenyum dan memuji”.
Tradisi Maulid Nabi di Tanah Jawa.
Bagi sebagian orang Islam tradisi merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan sebagai salah satu bentuk pengejewantahan rasa cinta umat kepada Rasul Nya.
Di tanah Jawa sendiri tradisi ini telah ada sejak zaman walisongo, pada masa itu tradisi Maulid Nabi dijadikan sebagai sarana dakwah penyebaran agama Islam dengan menghadirkan berbagai macam kegiatan yang menarik masyarakat. Pada saat ini tradisi Maulid/Mauludan di Jawa disamping sebagai bentuk perwujudan cinta umat kepada Rasul juga sebagai penghormatan terhadap jasa-jasa Walisongo.
Sebagian masyarakat Jawa merayakan maulid dengan membaca Barzanji, Diba’i atau al-Burdah atau dalam istilah orang Jakarta dikenal dengan rawi. Barzanji dan Diba’i adalah karya tulis seni sastra yang isinya bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Sedangkan Al-Burdah adalah kumpulan syair-syair pujian kepada Rosululloh SAW yang dikarang oleh Al-Bushiri.
Berbagai macam acara dibuat untuk meramaikan acara ini, lambat laun menjadi bagian dari adat dan tradisi turun temurun kebudayaan setempat.
Di Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta, perayaan maulid dikenal dengan istilah sekaten. Istilah ini berasal dari stilasi lidah orang Jawa atas kata syahadatain, yaitu dua kalimat syahadat. Perayaan umumnya bersifat ritual penghormatan (bukan penyembahan) terhadap jasa para wali penyebar Islam, misalnya upacara Panjang Jimat yaitu upacara pencucian senjata pusaka peninggalan para wali.
Di Cirebon upacara Panjang Jimat di fokuskan di dua tempat yaitu Keraton Kasepuhan dan Astana Gunung Jati. Di Jogjakarta dan Surakarta di masing-masing keraton dengan acaranya Grebeg Mulud. Pada zaman kesultanan Mataram perayaan Maulid Nabi disebut Gerebeg Mulud. Kata "Gerebeg" artinya mengikuti, yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi, lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya.
Di Garut, terdapat upacara Ngalungsur yaitu proses upacara ritual dimana barang-barang pusaka peninggalan Sunan Rohmat (Sunan Godog/Kian Santang) setiap setahun sekali dibersihkan atau dicuci dengan air bunga-bunga dan digosok dengan minyak wangi supaya tidak berkarat, di fokuskan di desa Lebak Agung, Karangpawitan. Di Banten kegiatan di fokuskan di Masjid Agung Banten. ditempat lain diantaranya tempat-tempat ziarah makam para wali.
Di beberapa tempat kadang-kadang perayaan ini dijadikan ajang berkumpulnya para tokoh masyarakat dan sesepuh setempat, seperti kyai, bangsawan/elang, dan tidak ketinggalan para jawara dari berbagai paguron untuk saling bersilaturahim, untuk membicarakan berbagai macam hal yang menyangkut daerah setempat. Tapi hal ini jarang diekspos karena sifatnya yang non formal, sehingga tidak banyak masyarakat yang mengikuti.
Pandangan Ulama NU.
Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang amalan seorang muslim yang pada zaman Nabi tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah sebab Rosululloh sendiri sering membacanya), mau’izhah hasanah pada acara temanten dan Muludan.
Dalam Madarirushu’ud Syarhul Barzanji dikisahkan, Rasululloh SAW bersabda: "Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa'at kepadanya di Hari Kiamat." Sahabat Umar bin Khotthob secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir Rosululloh sama artinya dengan menghidupkan Islam!”
[Subandi Baiturrahman]
Share :

Komentar Facebook:

0 Komentar Blog: